Jakarta – Pemblokiran 22 situs oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) ternyata telah lama dikoordinasikan oleh badan-badan terkait. Ada banyak alasan yang menjadi pertimbangan sebelum keputusan itu dibuat.
Humas Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Prof Dr Irfan Idris MA usai Rapat Koordinasi (Rakor) di Kantor Kemenkominfo, Selasa (31/03/2015) menjelaskan, pihaknya dan Kemenkominfo tidak semerta-merta membuat keputusan itu. Sejak tahun 2012, BNPT, Kemenkominfo, Kementerian Agama, dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhumkam), sudah melakukan rangkaian investigasi masalah itu.
“Tentu ada alasan kami meminta kepada Kemenkominfo untuk memblokir 19 situs yang kami nilai radikal tersebut. Sejak 2012, kami sudah melakukan kajian mendalam soal situs-situs tersebut dan yang pasti alasannya adalah situs-situs bernuansa radikal yaitu ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama,” ujar Irfan usai Rakor tersebut.
Selain itu menurut pria yang juga menjabat sebagai Direktur Deradikalisasi BNPT tersebut, yang dimaksud membawa ajaran radikal lainnya yaitu menyangkut takfiri atau mengkafirkan orang lain. “Seperti di salah berita di situs tersebut yang pernah saya baca ada kalimat ekor, Jokowi kafir dan demokrasi haram. Itu sudah radikal dan berbahaya,” kata Irfan.
Menurut Irfan, media situs tersebut juga banyak yang mendukung, menyebarkan dan mengajak untuk bergabung ke ISIS. Kalimat-kalimat propaganda juga banyak ditemukan. “Selain itu mereka juga menulis tentang memaknai jihad namun secara terbatas. Ada bukti fisik yang tim internal miliki,” ujar Irfan.
Namun, kata Irfan, pihaknya juga akan menelaah lebih lanjut pascapertemuan hari ini dengan perwakilan dari tujuh media yang situsnya telah diblokir. “Tentu ada prosedur persuasif dan akan kami bahas lebih lanjut di internal kami (BNPT),” tukasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Staf ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Kominfo, Henri Subiakto mengungkapkan bahwa pemblokiran situs atas dasar pers.
“Kalau berbicara Undang-undang Pers, maka teman-teman di Dewan Pers ini tidak menganggap situs-situs tersebut adalah media massa. Karena kalau yang disebut dengan media massa, itu selalu berbadan hukum Indonesia. Kalau kita lihat belum tentu situs-situs tersebut berbadan hukum Indonesia,” ujar Henri.
Karena menurut Hendri, kalau situs tersebut berbentuk media massa, tentumnya struktur organisasinya juga jelas. Karena tentunya ada nama-nama penanggung jawab, ada alamat dan ada nomor telepon yang bisa dihubungi di situs-situs tersebut. Namun situs-situs itu menurut Hendri tidak memenuhi syarat diatas.