Belajar Dari Sejarah Agar Tak Salah Arah

Islam dan Arab kerap disandingkan laksana sebuah kesatuan, dimana yang dianggap Islam pasti selalu Arab, dan sebaliknya. Akibatnya banyak orang yang mengira bahwa Islam yang benar adalah Islam yang minimal ada ‘arab-arab’nya. Padahal dalam waktu yang bersamaan kita juga mafhum dengan tabiat kebanyakan orang Arab (terutama saat Islam pertama kali diajarkan oleh Rasulullah) yang keras dan akrab dengan peperangan.

Sejarah mencatat betapa perilaku kasar dan peperangan nyaris telah menjadi sesuatu yang lumrah bagi masyarakat Arab pada masa itu. Rasulullah sendiri bahkan terpaksa harus turut merasakan hal itu melalui serangkaian makian hingga usaha pembunuhan yang ditimpakan padanya.  Beberapa kalangan bahkan meyakini bahwa ajaran perdamaian yang dibawa Islam sempat dirasa kurang ‘Arab’ oleh masyarakat setempat. Masyarakat saat itu –dan ternyata hingga kini—merasa bahwa keadilan hanya bisa ditegakkan melalu pembalasan setimpal, bahkan meski hal itu melibatkan tindak kekerasan; mata dibalas mata, tangan dibalas tangan, dan nyawa dibalas nyawa. Namun perlahan Rasul mampu mengajak sebagian masyarakat Arab untuk tidak lagi terlibat dari beragam tindak kekerasan, terutama terhadap sesama Muslim. Karena bagi beliau, “orang mukmin itu bagi mukmin lainnya seperti bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain…” ( Imam Bukhari, Muslim, dan An Nasa’i).

Namun rupanya tabiat masyarakat Arab saat itu memang sulit dirubah, setelah Rasulullah meninggal dunia pada 8 Juni 632, era awal muslim justru diwarnai dengan pembunuhan yang menimpa Khalifah Utsman bin Affan pada 17 Juni 656. Khalifah ketiga dalam urutan al-khulafa al-rasyidin (setelah Abu Bakr [632-634] dan Umar bin Khathab [634-644]) yang memimpin pada tahun 644-656 ini berbeda pandangan tentang kekuasaan dan harta rampasan perang, akibatnya ia dibunuh setelah sebelumnya rumahnya dikepung selama 40 hari berturut-turut. Banyak pihak yang terlibat dalam pembunuhan ini, semuanya berkaitan erat dengan kepentingan perebutan kekuasaan.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Utsman sebenarnya mendapat tawaran bantuan untuk memerangi para pembunuh tersebut, namun dengan tegas ia menolak karena tidak ingin ada pertumpahan darah, terutama darah orang-orang muslim.

Sepeninggalan Rasul, masyarakat Arab seperti kembali pada tabiat lama; melakukan peperangan. Tetapi yang terjadi kali ini sedikit berbeda, dimana umat muslim justru lebih sering berkonflik dengan sesama muslim, terutama di masa-masa akhir kekhalifahan Utsman dan peralihan ke Ali (656-661). Di awal pemerintahan Ali saja tercatat dua kali peristiwa perang saudara yang menelan banyak korban. Pertama, Perang Unta yang terjadi di dekat kota Basrah, selatan Irak pada 8 Desember 656. Perang ini melibatkan salah satu janda Rasulullah dan beberapa sahabat-sahabat Rasul. Peristiwa ini merupakan perang saudara pertama sepeninggalan Rasul di kawasan jazirah Arab, sebuah peristiwa yang sangat disayangkan, semua yang terlibat dalam perang adalah orang-orang yang sangat paham alquran karena mereka mendapat pengajaran langsung dari Rasulullah.

Hanya selang 7 bulan kemudian, tepatnya pada 26-29 Juli 657, pecah lagi perang kedua yang dikenal sebagai perang Siffin di selatan sungai Furat, Irak. Kedua perang saudara ini nyaris meluluh lantakkan pondasi komunitas muslim yang baru seumur jagung kala itu.

Ironisnya, tabiat untuk menyelesaikan urusan dengan jalan kekerasan, meski dengan jalan memporak-porandakan dalil-dalil agama, masih terus ada hingga kini. Ahmad Syafii Maarif dalam salah satu kolomnya menilai bahwa alasan utama dari peperangan (khususnya perang saudara di atas) diakibatkan oleh absennya kesediaan untuk berdamai antara pihak-pihak yang berseteru. Belum lagi tentang betapa sukarnya umat Islam untuk mengalahkan ego dan nafsunya yang tidak jarang dibungkus dengan teks-teks suci dan dalil-dalil agama (Republika, 28 April 2015).

Pertanyaan yang kemudian dilontarkan oleh pendiri Maarif Institute terkait dengan perang saudara antara komunitas muslim seperti di atas adalah, bahwa seluruh perpecahan yang terjadi antara kmonutias muslim adalah murni bersifat Arab-Muslim, tetapi mengapa harus meluas ke seluruh dunia muslim pada abad-abad yang  panjang berikutnya? Apakah seluruh perilaku elite muslim itu patut dan baik untuk ditiru?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *