JAKARTA – Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dr Bambang Pranowo MA mengatakan bahwa memang ada pesantren yang radikal, tapi jumlahnya relatif sedikit dibanding jumlah seluruh pesantren di Indonesia. Jika ada pesantren yang mengajarkan paham radikalisme harus ada tindakan. Polemik terkait pesantren radikal seharusnya tidak terjadi.
“Pondok Pesantren di Indonesia hampir 50 ribu, sedangkan yang terlibat terorisme mungkin belasan. Itu sangat kecil. Apa yang terjadi kemarin itu sebenarnya soal bahasa dan pengemasan saja,” ungkap Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Bambang Pranowo, MA, di Jakarta, Selasa (16/2/2016).
Pernyataan Kepala BNPT Dr Saud Usman Nasution, SH, MH soal pesantren terindikasi paham radikalisme menurut Bambang, seharusnya dipahami sebagai bagian dari pencegahan terorisme. Apalagi disebutkan hanya segelintir orang (santri/guru) yang terindikasi radikalisme itu. Apalagi sebagai lembaga negara yang bertugas melakukan pencegahan terorisme, BNPT memang harus lakukan program pencegahan di segala lini masyarakat.
“Sebenarnya ini psikologis saja. Kalau pernyaataan terkait radikalisme ini keluar dari Kementerian Dalam Negeri (Kemenag), reaksinya biasa saja. Beda kalau lembaga lain seperti BNPT. Ini tidak usah dimasalahkan lagi karena tugas pencegahan terorisme ke depan sangat berat,” papar Prof. Bambang.
Yang pasti, lanjut Prof. Bambang, soft approach yang ditingkatkan dalam pencegahan terorisme ke depan. Untuk itu, BNPT harus lebih erat bergandengan tangan dengan NU dan Muhammadiyah, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, selain ormas lokal yang bertebaran di seluruh Indonesia.
Hal senada diutarakan Ketua Asosiasi Pesantren Rabithah Ma’had Islamiyah NU (RMI NU), H. Abdul Ghofarrozin Sahal Mahfud. Menurutnya dari puluhan ribu pesantren di Indonesia hampir semuanya berbasis kultural dan kedaerahan. Dan dari jumlah itu hanya 19 yang terindikasi radikalisme.
“Pesantren selalu berhasil untuk berdampingan dengan budaya dan masyarakat setempat. Jadi kalau ada pesantren terindikasi radikalisme tersebut, itu jelas telah menyalahi tujuan dan hakekat keberadaan pesantren,” katanya.
Ia mencontohkan di setiap pesantren tersebut, namnya kiai tidak pernah ditunjuk atau dipilih. Tetapi melalui proses sosialisasi tinggi dan yang bersangkutan memiliki otoritas sehingga mampu mengembangkan wacana keagamaan yang membumi. Yang pasti setiap pesantren memiliki karakter dan potensi di masing-masing daerah. Dengan begitu pesantren berpotensi sebagai kontra wacana dalam membangun basis pengajaran.
“Dengan fungsi itu, pesantren itu justru bisa memfasilitasi pelaksanaan dialog antara kiai, santri, masyarakat, atau bahkan mantan teroris,” tegas Gus Rozin, sapaan karib H. Abdul Ghofarrozin Sahal Mahfud itu.