Sulu – Seorang anggota kelompok teroris berkewarganegaraan asing (WNA) dilaporkan tewas dalam baku tembak antara aparat keamanan Filipina dengan kelompok Abu Sayyaf di Patikul, Sulu, Sabtu (2/2).
Kelompok tersebut diyakini Pemerintah Filipina sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pengeboman gereja di Jolo, Sulu, Ahad (27/1) lalu.
Manila Times melaporkan, baku tembak tersebut melibatkan sekitar 150 anggota kelompok Abu Sayyaf melawan Batalion Ranger kelima yang merupakan bagian Pasukan Gabungan Sulu di Sitio Sungkog, Barangay Kabbon Takas, Patikul, Sulu.
Tiga orang teroris dan 13 lainnya dilaporkan terluka dalam baku tembak tersebut. Dari kubu militer Filipina, lima tentara tewas dan lima lainnya mengalami luka-luka.
Juru Bicara Pasukan Gabungan Sulu, Letkol Gerald Monfort, mengatakan, pihaknya masih berupaya menyelidiki asal negara anggota Abu Sayyaf yang terbunuh itu.
“Seseorang yang diidentifikasikan sebagai Abu Black di antara teroris yang tewas. Kami belum mengetahui kewarganegaraannya,” kata Monfort dalam jumpa pers, Minggu (3/2).
Monfort mengatakan, kelompok yang terlibat konflik dengan militer dipimpin Hatib Hajan Awadjaan. Ia diduga terlibat dalam pengeboman di Katedral Our Lady of Mount Carmel di Jolo, Sulu, pada Ahad (27/1) lalu.
Sedikitnya 22 warga beserta sejumlah aparat keamanan meninggal dunia akibat serangan itu dan ratusan lainnya terluka.
Baca juga : Setelah Klaim WNI Pengebom Katedral Jolo, Giliran Seorang WNI Tewas Baku Tembak
Presiden Rodrigo Duterte kemudian memerintahkan penyerangan besar-besaran untuk menghabisi kelompok Abu Sayyaf selepas serangan ke katedral tersebut.
“Pertempuran mulai meningkat sejak pasukan kami berupaya merebut dataran tinggi,” kata Monfort, kemarin.
Pengungkapan kewarganegaraan anggota kelompok Abu Sayyaf yang tewas dalam pertempuran bakal jadi salah satu kunci mengungkap pengeboman. Pasalnya, pada Jumat (1/2), Menteri Dalam Negeri Dilipina Eduardo Año menyatakan bahwa dua pengebom dari Indonesia terlibat dalam penyerangan katedral di Jolo.
Manila Times mengutip sumber-sumber anonim intelijen Filipina melansir, sepasang suami-istri itu melancarkan serangan setelah sebelumnya berhubungan dengan kelompok yang dipimpin Sawadjaan.
Kontak dilakukan melaui subkelompok Ajang-Ajang yang melakukan aksi penculikan dan terorisme atas nama kelompok Abu Sayyaf.
Menurut saksi mata, perempuan tersebut membawa tas berisi bom dan menempatkannya di salah satu bangku jamaah di katedral. Perempuan itu kemudian meledakkan bom dari kejauhan.
Sumber intelijen juga mengungkapkan, ledakan selanjutnya diyakini merupakan bom bunuh diri. Bom diledakkan pelaku pria saat tas masih dipunggungnya.
Tiga hari selepas pengeboman di katedral, sebuah masjid di Kota Zamboanga jga dilempari geranat. Dua jamaah meninggal dan empat lainnya terluka dalam penyerangan tersebut.
Menteri Dalam Negeri Filipina Eduardo Año memerinci pasangan Indonesia pelaku pengeboman gereja katedral dibantu kelompok separatis Abu Sayyaf.
“Anggota Abu Sayyaf yang mengarahkan mereka, mempelajari sasaran, melakukan pengintaian dan pengawasan dan membawa pasangan itu kedalam katedral,” kata Ano, kepada delegasi-delegasi pertemuan Barangay Summit on Peace and Order di Palo, Provinsi Leyte, seperti dilansir Philippines Inquirer, Minggu (3/2).
Ano mengatakan, pelaku laki-laki dikenal sebagai ‘Abu Huda’ dan memiliki nama samaran lainnya. Ia sudah berada di Sulu dalam waktu yang lama. “Tujuan dari pasangan tersebut untuk membuat contoh dan mempengaruhi warga Filipina menjadi pelaku bom bunuh diri,” kata Ano.
Sejauh ini, menurut dia belum ada warga Filipina yang melakukan bom bunuh diri. Pernyataan Ano ini menjadi sebuah simpul baru dalam penyelidikan yang penuh dengan laporan yang tidak konsisten dan terkadang saling bertentangan.
Menurut salah satu penyidik investigasi kasus ini makin diperumit dengan lokasi kejadian yang sudah terkontaminasi. Sebelumnya, para petugas polisi setempat mengatakan bom diledakan melalui detonator jarak jauh.
Namun kemudian Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan serangan ini dilakukan dengan bom bunuh diri. Pernyataan Duterte ini didukung oleh Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana.
Ano yang juga mantan petinggi militer mengatakan Daulah Islamiyah (DI) yang terdiri atas Abu Sayyaf, Ajang-Ajang, dan kelompok-kelompok teror lainnya sudah menyatakan kepatuhan (baiat) pada ISIS. Mereka mengincar “kota-kota progresif” di Mindanao tapi darurat militer menghalangi mereka.
Ano yakin selain ledakan bom di gereja katedral, serangan masjid di Zamboang juga perbuatan DI.
“Mereka ingin meningkatkan perang teror di level agama, itulah mengapa mereka memilih gereja dan katedral seperti yang mereka lakukan di Indonesia,” kata Ano.
Di lain pihak, Wali Kota Jolo Kherkar Tan mengungkapkan keraguannya terhadap efektivitas pengamanan yang dilakukan pemerintah sebelumnya ledakan terjadi. Tan meminta kelompok hak asasi manusia melakukan pencarian fakta independen atas serangan ini.
“Saya khawatir pengeboman ini berakhir untuk menutup-nutupi kesalahan,” kata Tan.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi sebelumnya menyampaikan masih menunggu hasil identifikasi pelaku bom bunuh diri gereja di Filipina.
“Kita mendengar adanya kabar bahwa pelakunya warga Indonesia, dari kemarin saya sudah berkomunikasi dengan otoritas Filipina namun sampai pagi ini belum terkonfirmasi hasil identifikasinya,” kata Menlu Retno, di Padang, Sabtu (2/2).
Menurut dia, dari hasil komunikasi yang proses investigasi dan identifikasi masih berlangsung.
“Hari ini saya masih akan terus melanjutkan komunikasi dengan otoritas Filipina untuk memastikannya,” katanya lagi.
Retno mengatakan, sepengetahuan Kemenlu, informasi yang menyebut pelaku adalah WNI masih berupa hipotesis dan masih perlu dipastikan.
Serangan-serangan di Filipina terjadi sepekan selepas warga di bagian selatan Filipina ikut serta dalam referendum penetapan Hukum Organik Bangsa Moro yang jadi landasan penentuan kawasan otonomi administratif di wilayah mayoritas Muslim tersebut.
Hasil referendum yang diumumkan pada 25 Januari lalu menunjukkan, 85 persen pemilih mendukung regulasi itu dan secara resmi mengamanatkan dibentuknya Daerah Otonomi Bangsamoro yang meliputi provinsi Basilan, Lanao del Sur, Manguindanao, Sulu, Tawi-Tawi, dan Kotabatu.
Melalui regulasi itu diatur bahwa wilayah selatan itu tetap masuk dalam wilayah Filipina, meski memiliki regulasi-regulasi lokal yang khas. Hal tersebut bertentangan dengan keinginan kelompok separatis dan ekstremis yang menginginkan kemerdekaan Bangsamoro sepenuhnya dari Filipina.