Aspek Penting Deradikalisasi Indonesia

Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah pelaksana koordinasi dan mensinergikan permasalahan terorisme sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 46 Tahun 2010. Pelaksanaannya masih sulit, karena berbenturan beberapa hal.

“Presiden minta upaya-upaya menitikberatkan aspek preventif, yaitu deradikalisasi. Rapat Koordinasi (Rakor) ini adalah wujud upaya itu,” kata Kepala BNPT, Komjen Pol Saud Usman Nasution pada pembukaan Rakor bersama Kementerian dan Lembaga terkait mengenai Pusat Deradikalisasi BNPT, Amandemen Undang-undang No. 15 Tahun 2003 dan Pertukaran Data Informasi Keimigrasian, Selasa (26/5/2015). Rakor itu diadakan Direktorat Deradikalisasi BNPT bekerjasama dengan Kemenkumham dan diikuti oleh Kementrian dan Lembaga terkait.

Saud mengatakan bahwa pihaknya mencoba mencari terobosan UU No. 15 tahun 2003 tentang Penanggulangan Terorisme yang dianggap tidak update. Hal tersebut agar dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan penyelesaian tindak hukum terorisme saat ini.

“Hal ini dapat disesuaikan dengan isu terkini seperti ISIS. Serta dilihat dari tinjauan berbagai pihak dan pola pendekatan. Pendekatan pertama law reinforcement dan menjunjung tinggi HAM. Sehingga penyelesaian dan tindakan dapat dilakukan lebih manusiawi serta kita mendapatkan informasi yang lebih mendetail mengenai jaringan terorisme,” ujarnya. Dalam kesempatan itu hadir Staf Ahli Tim Deradikalisasi Dalam Lapas BNPT, Prof Hamdi Muluk dan Dr Suhardi Somomoeldjono

Pendekatan lain dengan kultur atau budaya/soft approaching dikatakan Saud, dapat dilakukan dengan wujud deradikalisasi. Deradikalisasi ini berupa dialog dan kunjungan langsung yang melibatkan lembaga-lembaga atau tokoh keagamaan dan masyarakat yang dikoordinasikan dengan petugas Lapas. “Saran dan masukan dari pihak-pihak tersebut dapat memberi sinergisme terhadap pelaksanaan deradikalisasi, hal apa yang perlu ditingkatkan dan diperbaiki, serta membangun komunikasi dengan semua pihak,” katanya.

Terkait rencana pemindahan napi, Saud mengungkapkan bahwa, dari 242 Warga Binaan Pemasyarakatan/WBP (narapidana) tindak pidana terorisme yang tersebar di seluruh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang ada di Indonesia tidak semuanya akan dipindahkan Pusat Deradikalisasi BNPT. “Tidak semua napi akan dipindah. Tentunya akan dipilah-pilah terlebih dahulu kriteria narapidana seperti apa yang nantinya akan ditempatkan di Pusat Deradikalisasi BNPT. Apakah yang sudah sadar atau seperti apa harus ada kriterianya.,” ujar Saud.

Selain itu dalam rangka untuk menyadarkan napi yang masih sangat radikal di lapas lain juga mungkin diperlukan membawa napi teroris yang sudah sadar, selain membawa ulama atau tokoh masyarakat yang berpengaruh kuat. “Ya mungkin saja bisa membawa Umar Patek untuk dipinjam untuk dibawa ke lapas lain dalam upaya menyadarkan napi lain.

Dan bisa juga membawa mantan teroris seperti Nasir Abas, ustad Abdul Rahman Ayub untuk menyadarkan napi teroris dalam upaya progam deradikalisasi ini,” ujar Saud.

Oleh sebab itu menurut Saud, saat deradikalisasi terlaksana yang pertama dilakukan adalah menentukan kriteria napi yang akan dimasukkan ke pusat deradikalisasi. Kedua, harus ada SOP pelaksana atau sumber daya dalam pusat deradikalisasi.

Sementara itu Plt Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), Ma’mun mengungkapkan bahwa meningkatnya kasus terorisme diakibatkan karena kurangnya strategi dan koordinasi yang sinergis antara institusi kontra teror yang menyebabkan permasalahan semakin kompleks.

“Oleh karena itu, diperlukan adanya sinergi nasional dalam mengurangi kompleksitas terorisme. BNPT sebagai fasilitator dalam penyusunan strategi dan program nasional untuk mengkoordinasi dengan Kementrian atau Lembaga terkait dalam menjawab kompleksitas tersebut,” ujar Ma’mun.

Dikatakannya, proses penindakan terorisme merupakan hal penting, sehingga lapas memiliki peran penting atas penyelesaian masalah terorisme. “Oleh karena itu, deradikalisasi di luar dan di dalam Lapas membutuhkan pembinaan terhadap petugas Lapas bahwa perlakuan terhadap napi terorisme harus berbeda. Selain itu. perlindungan terhadap aparat lapas juga patut menjadi perhatian,” katanya.

Dirinya juga mengungkapkan bahwa pembinaan kehidupan narapidana dalam pusat pemasyarakatan disesuaikan dengan aturan pemasyarakatan. “Narapinda merupakan warga binaan dipersiapkan untuk dapat berinteraksi di lingkungan masyarakat setelah menyelesaikan masa hukuman. Standar perlakukan terhadap narapidana belum bisa dilakukan dengan tepat karena berbagai hal mulai dari sistem, sarana hingga sumber daya manusia di Lapas,” ujarnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *