Sampai saat ini memang tidak ada pengertian yang tunggal dan sama tentang terorisme. Cakupannya yang luas dan dampaknya yang sangat besar bagi kemanusiaan sehingga cara kita memadang pun sangat beragam.
Tetapi, dari berbagai definisi yang ada, semuanya berujung pada satu titik kesamaan bahwa terorisme adalah aksi brutal, sangat menakutkan dan berdampak merusak bagi kehidupan umat manusia (crimes against humanity).
Dari berbagai definisi yang disampaikan para ahli ada empat kata kuncinya dalam memahami terorisme : 1) aksi dan ancaman kekerasan, 2) ada tujuan politik tertentu, 3) penanaman ketakutan dan ketidakamanan, dan 4) korban acak.
Indonesia mendefinisikan terorisme sebagaimana tercantum dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme :
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-oyek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”.
Bagaimana Indonesia mengatasi masalah terorisme dari masa ke masa?
Aksi terorisme bukanlah hal baru. Sejak awal kemerdekaan hingga reformasi aksi terorisme selalu ada dalam bentuk, motif dan gerakan yang berbeda-beda serta dengan strategi penanggulangan yang berbeda-beda pula. Di masa Orde Lama, ancaman terorisme muncul dari gerakan lokal yang menentang pemerintahan baru, Soekarno. Dua gerakan subversive yang sangat terkenal adalah gerakan NII dan DI/TII (1949), Kahar Muzakar (1950-1962) dan pemberontakan Daud Beureuh (1953-1962). Kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme pada itu dilaksanakan dengan pendekatan keamanan melalui operasi militer dengan landasan UU Subversif.
Hampir sama dengan Orde Lama, penanggulangan terorisme pada masa Orde Baru juga mendasarkan pada UU Subversif dengan penekanan lebih pada operasi intelijen. Berbeda dengan ancaman pada masa orde lama, pada Orde Baru aksi teror berupa ancaman yang merusak stabilitas keamanan seperti peristiwa Cicendo (1981), Teror Warman (1981), Teror Woyla (1981) dan Bom Borobudur (1985).
Memasuki masa reformasi ketika pemerintahan Soeharto dipaksa mundur, ancaman teror semakin meningkat. Terbukanya kran kebebasan dan demokratisasi di berbagai aspek mendorong beberapa aktifis jihadis yang pernah lari ke Malaysia Abdullah Sungkar and Abu Bakar Ba’asyir pada era 1980-an dan berlatih di Afganistan (1988-1990an) kembali ke Indonesia. Rangkaian peristiwa teror dalam bentuk bom menjadi ancaman baru dimulai dengan bom masjid Istiqlal (1999).
Kejadian teror kemudian semakin meningkat dari Bom BEJ Jakarta (2000), Bom Kedubes Filipina (2000) Bom Gereja Medan (2000), peristiwa Bom Atrium (2001), Bom Plaza Hayam Wuruk (2003) hingga empat kejadian teror besar seperti bom Bali I dan II (2002 dan 2005). Trend terakhir terorisme telah mengarah pada penyerangan apparat keamanan yang terjadi dalam kurun 2012-2013. Perbedaannya dengan bentuk teror sebelumnya di orde lama dan orde baru, pada masa ini kejadian teror banyak dilakukan oleh kelompok yang berafiliasi secara internasional, al-Qaeda yakni JI.
Proses demokratisasi, kebebasan dan perspektif HAM di berbagai sektor pada masa reformasi turut mempengaruhi perubahan paradigm kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme dengan lebih mengedepankan aspek penegakan hukum misalnya lahirnya UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme setelah tragedi Bom Bali I Tahun 2002 di Legian Bali. Antara tahun 2005 -2009 memang tidak ada bom besar yang melanda Indonesia. Namun, kesuksesan hanya pada aspek penegakan hukum tetapi tidak mampu melakukan pencegahan.
Menyadari pentingnya aspek pencegahan dalam penanggulangan terorisme, pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pada tahun 2012 diubah dengan Perpres No. 12 Tahun 2012. Pembentukan BNPT merupakan pengembangan dari Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002. Kebijakan ini didasari bahwa penangulangan terorisme tidak efektif dengan hanya mengandalkan pada aspek penegakan hukum semata, tetapi butuh pencegahan yang melibatkan masyarakat. Itulah semangat lahirnya BNPT.
Bagaimana kebijakan BNPT dalam menanggulangi terorisme?
Dalam kebijakan nasional BNPT merupakan leading sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi koordinator dalam bidang penanggulangan terorisme. Dalam aspek kebijakan, BNPT mempunyai tiga bidang yakni, 1). Bidang pencegahan perlindungan dan deradikalisasi, 2) Bidang penindakan dan pembinaan kemampuan dan 3). Bidang kerjasama internasional.
Kebijakan BNPT dalam penanggulangan terorisme adalah upaya penanggulangan terorisme yang integratif dan komprehensif yaitu tidak hanya pada aspek penindakan (hard approach) saja, tetapi dipadukan, bahkan, mengedepankan pendekatan pencegahan (persuasive approach) dengan berbagai program yang menyentuh akar persoalan, yakni ideologi, kebencian, sosial, ekonomi dan ketidakadilan. Selain itu, ada kebijakan lain yang dijalankan oleh BNPT dalam upaya penanggulangan terorisme yakni kerjasama internasional dengan dasar pemikiran bahwa terorisme adalah ancaman dan gerakan yang mempunyai jaringan lintas batas negara. Masing-masing kebijakan baik penindakan, pencegahan dan kerjasama internasional berjalan sinergis sebagai bentuk kebijakan yang integral yang dijalankan oleh BNPT dalam penanggulangan terorisme.
Di samping itu kebijakan integratif dan komprehensif memiliki pengertian adanya pelibatan seluruh komponen bangsa baik pemerintah (K/L) maupun masyarakat dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Dalam posisi inilah BNPT menjadi leading sector yang mengordinasikan seluruh potensi daya dari berbagai elemen bangsa dalam penanggulangan terorisme.
Lalu, bagaimana kebijakan dan strategi pencegahan terorisme yang selama ini dilakukan BNPT?
Pencegahan merupakan garda terdepan dalam kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia yang dikenal dengan pendekatan lunak (soft approach). Kebijakan pencegahan diarahkan pada penangkalan paham radikal terorisme agar tidak menular dan mempengaruhi masyarakat. Tujuan dari pencegahan ini adalah meningkatkan daya tahan masyarakat dari pengaruh paham radikal terorisme dengan cara pelibatan peran serta seluruh komponen masyarakat dalam pencegahan terorisme.
Dalam melaksanakan kebijakan bidang pencegahan BNPT melakukan dengan dua strategi pencegahan.
- Strategi kontra radikalisasi, atau penangkalan ideologi radikal yang ditujukan kepada seluruh elemen masyarakat. Termasuk dalam strategi kontra radikalisasi adalah bidang perlindungan yang mencakup pengamanan obyek vital dan lingkungan. Strategi kontra radikalisasi merupakan upaya melakukan penangkalan paham dan gerakan terorisme kepada masyakat dalam rangka peningkatan kewaspadaan dan daya tahan masyarakat dari pengaruh paham radikal terorisme. Strategi ini dijalankan dengan berbagai program: a) mengkoordinasikan instansi pemerintah dalam upaya penangkalan paham radikal terorisme, b) memberdayakan kekuatan masyarakat sipil (Ormas keagamaan, NGO, lembaga pendidikan, tokoh agama, tokoh adat, generasi muda) dan mantan teroris dalam penangkalan paham radikal terorisme dan c) memberdayakan media online dalam penangkalan paham radikal di dunia maya. Dalam implementasinya, strategi ini dijalankan melalui beberapa bidang.
- Strategi pembinaan (deradikalisasi) yang ditujukan kepada kelompok inti, militan, pendukung dan simpatisan. Strategi Pembinaan (Deradikalisasi) merupakan upaya untuk mentransformasi dari keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya) bagi orang yang terpengaruh oleh keyakinan radikal. Sasaran dari strategi ini : narapidana terorisme, mantan narapidana terorisme, mantan kelompok teroris, keluarga narapidana teroris, individu dan kelompok potensi radikal. Dalam implementasinya, strategi pembinaan dilakukan dalam beberapa program. a). Pembinaan dalam Lapas terhadap Napi Terorisme dengan kegiatan : Identifikasi, Rehabilitasi, Reedukasi dan Resosialisasi. b) Pembinaan di masyarakat terhadap mantan napi, keluarga dan jaringannya dengan kegiatan : Identifikasi, pembinaan wawasan kebangsaan dan nasionalisme, pembinaan wawasan keagamaan yang moderat dan pelatihan kewirausahaan.
Selain korban orang, dampak kerusakan aksi terorisme juga terhadap bangunan dan lingkungan, apa kebijakan dan program yang dilaksanakan BNPT dalam rangka melindungi kawasan strategis dan lingkungan masyarakat?
Di samping korban nyawa kerugian material yang diakibatkan oleh aksi terorisme sangat besar. Mari kita lihat data dari kurun waktu tahun 2000 hingga 2014, berdasarkan catatan Global Terrorism Database (2014), target serangan dan ancaman aksi teror sangat beragam mulai dari gedung pemerintahan, fasilitas asing, pariwisata, transportasi, jaringan telekomunikasi hingga lembaga pendidikan.
Dari target tersebut, sedikitnya ada 60 aksi teror terhadap fasilitas publik, gedung dan bangunan asing serta lingkungan. Beberapa contoh dalam kasus ini misalnya peristiwa bom I dan II, bom Hotel Marriot I dan II serta bom di Hotel Rizt Carlton. Untuk kategori serangan terhadap fasilitas pemerintah asing, ada 25 aksi dan ancaman. Beberapa contoh dalam kasus ini adalah serangan terhadap kediaman Duta Besar Filipinan di Jakarta, Kedutaan Besar Australia di Jakarta dan Kantor Konsulat Filipinan di Manado. Untuk aksi teror yang mengarah pada jaringan transportasi, ada 6 aksi teror. Beberapa di antaranya adalah peristiwa Bom di terminan II F Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan ancaman terhadap Pesawat Garuda.
Karena itulah, perlindungan merupakan salah satu aspek dari bidang pencegahan terorisme. Bidang Perlindungan merupakan upaya pengamanan terhadap asset pemerintah dan lingkungan masyarakat. Bidang perlindungan dibagi dalam dua area.
- Pengamanan obvit, transportasi dan VVIP. a). Obvit meliputi Kawasan, bangunan/instalasi, dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan kepentingan negara bersifat strategis. b). Pengamanan transportasi meliputi pengamanan terhadap jaringan transportasi seperti stasiun, bandara, pelabuhan dan terminal. c). Sementara VVIP merapakan pengamanan terhadap Presiden, Wakil Presiden beserta keluarga dan tamu negara setingkat kepala negara/pemerintahan.
- Pengamanan lingkungan yang mencakup dua area: a). fasilitas pemerintahan dan b). fasilitas publik seperti Obyek wisata, rumah sakit, rumah ibadah, hotel, pusat perbelanjaan dan lain-lain.
Dalam implementasinya perlindungan dijalankan dengan kegiatan: Koordinasi dengan stakeholder, Penyusunan Database Sistem Keamanan, Pembuatan SOP Sistem Keamanan dan Sosialisasi Sistem Keamanan kepada stakeholder.