Konsep khilafah masih terus menimbulkan polemik di sana-sini, hal ini menunjukkan bahwa wacana tentang pendirian negara dengan berdasar pada hukum Islam dianggap menjadi isu penting. Bukan saja penting untuk diwujudkan, tetapi –dan ini tidak kalah penting—juga penting untuk dikritisi. Ibarat bola salju yang semakin berputar semakin membesar, wacana tentang khilafah kian menarik perhatian banyak pihak, baik mereka yang menerima maupun mereka yang menolaknya.
Kita semua tentu pernah merasa kecewa dengan kondisi bangsa yang tak kunjung membaik meski presiden baru telah lama dilantik, namun menumpahkan kekecewaan tersebut dengan membangkitkan ilusi lama tentang negara berdasar agama justru akan membuat kita semakin merana, terlebih karena konsep khilafah tidak memiliki kejelasan yang bisa membuat kita yakin dapat segera bangkit dari kekecewaan tersebut.
Konsep khilafah masih terus diperdebatkan, karena belum ada kejelasan tentang tata cara pemilihan kepala negara, perumusan undang-undang, penunjukkan perwakilan/konstituen, dll. Sehingga ketika ada kelompok yang masih getol mengkampanyekan pendirian khilfah, maka pertanyaanya adalah “khilafah yang bagaimana?”
Nabi Muhammad sendiri tidak pernah meninggalkan konsep politik standar untuk kemudian diteruskan oleh para pengikutnya. Apa yang kemudian dilakukan oleh para penerus beliau adalah murni ijtihad politik semata; itulah sebabnya mekanisme standar politik yang berlaku di pemerintahan Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali berbeda-beda. Kekhalifahan yang terjadi di masa-masa setelah Ali juga menunjukkan ragam yang tidak kalah mentereng, dan berdasarkan pada fakta sejarah ini, seorang ulama dari universitas al-Azhar, Ali Abdul Raziq, menyatakan bahwa kekhalifahan yang pernah ada dalam masyarakat muslim bukanlah (merupakan perwujudan dari) doktrin agama, melainkan fenomena sejarah semata.
Sebagai agama yang telah menggejala di berbagai sendi kehidupan manusia, Islam tampak terlalu luas untuk ditekuk begitu saja dalam sebuah wadah bernama syariah. Ibn ‘Aqil, salah seorang ulama Islam terkemuka pernah menyatakan Al-din wahid wa al-syari’atu mukhtalifah. Agamanya memang satu (Islam) tetapi syariahnya ada banyak. Hal ini semakin menunjukkan betapa wacana mendirikan khilafah begitu utopis, karena jika benar khilafah ditegakkan dan hukum syariah dilaksanakan, pertanyaannya adalah syariah yang mana?
Antara Bayangan dan Kenyataan
Bagi mereka yang mendukung pendirian khilafah, mereka percaya bahwa kehidupan akan segera membaik dan segala kemungkaran akan segera tercabik, karena pemerintahan dibawah ketentuan Islam. Lagi-lagi, ketentuan yang mana? Nyatanya Islam memang tidak memiliki ketentuan baku tentang politik kenegaraan. Sehingga kita tidak akan menjumpai sistem konsep politik standar dalam negara khilafah.
Tiga dari empat khulafa’ rasyidin (Umar, Utsman dan Ali) bahkan harus meregang nyawa di tangan para pembunuh justru ketika negara khilafah pertama kali diujicobakan. Jikapun benar bahwa konsep negara khilafah adalah tawaran terbaik untuk segala permasalahan yang dihadapi manusia saat ini, tentu sekarang kita akan melihat negara-negara Arab –yang memiliki kedekatan historis dan sejarah dengan Islam– menjalankan sistem itu, tetapi nyatanya tidak. Hal ini membuktikan bahwa konsep khilafah sudah tidak memadai untuk kehidupan modern.
Dalam konteks Indonesia, dua ormas Islam terbesar di negeri ini, yakni NU dan Muhammadiyah, jauh-jauh hari telah menyatakan bahwa Indonesia dengan pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final, konsep khilafah tak pernah masuk dalam pertimbangan. Bayangan tentang kejayaan Islam dalam wadah khilafah justru terpatahkan dengan rangkaian bukti yang ditunjukkan oleh sejarah.
Negara Islam, Isu terorisme, dan Kita
Salah satu kejanggalan yang terus dikumandangkan oleh para pendukung khilafah adalah keyakinan bahwa kekuasaan (dalam konteks negara bangsa) ada di tangan Allah. Hal ini janggal sebab 2 hal, 1, kita tidak tahu cara berkonsultasi secara publik dan terbuka kepada Allah (sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi) terkait dengan masalah-masalah terkini yang sedang terjadi. Sehingga kita tidak dapat mendengar langsung titah dari Allah. Yang kemungkinan malah ada adalah munculnya orang-orang yang mengaku mengerti apa yang dikehendaki Allah. Dan ini tentu berbahaya. 2. Seperti yang dikatakan oleh Sayyida Ali bin abu Thalib bahwa Al qur’an tidak dapat berbicara sendiri, harus ada orang yang kompeten untuk menafsirkannya (wa hadza al-qur’an innama huwa khattun masthur bayna daffatayn. Inaama yatakallamu bihi al-rijal). Jadi, ketika kita mengembalikan segala sesuatunya kepada teks suci, kita memerlukan penafsir ulung, yang tafsirannya bersifat resmi (karena ini menyangkut urusan negara) dan diterima seluruh pihak. Masalahnya, apa mungkin hal ini terjadi? Ulama sekaliber Imam Malik saja menolak ketika khalifah yang berkuasa saat itu menjadikan salah satu karyanya, al-muwaththa’, sebagai konstitusi negara.
Masalah utama dari konsep khilafah adalah pemaksaan untuk menempatkannya secara tumpang tindih dengan agama (Islam), padahal dalam waktu yang bersamaan tidak pernah ada teks otoritatif baik di quran maupun hadist yang menjelaskan tentang konsep khilafah. Tuntunan tentang khilfah juga tidak pernah ada dalam rukun Islam maupun rukun iman, sehingga sah-sah saja bagi muslim untuk tidak melakukan perintah mendirikan khilafah. Lagi-lagi karena perintah tersebut tidak pernah ada.
Jika alasan penegakan khalifah adalah kondisi negara demokrasi yang begitu mengecewakan, maka kondisi negara dengan (klaim) konsep khilafah justru jauh lebih mengerikan. Contoh terbaru tentang negara khilafah yang bisa kita saksikan saat ini tentu ada pada diri ISIS. Segerombolan begundal yang mengaku menegakkan hukum tuhan namun tak risih untuk melakukan kekerasan dan bahkan pembunuhan.
Dari sejarah kita mengetahui bahwa komunitas masyarakat muslim pernah hidup dengan konsep khilafah, tetapi dari sejarah pula kita mengerti bahwa kemajuan jaman telah membawa kita pada sistem kehidupan yang lebih mumpuni, yakni demokrasi.