Ali Fauzi pernah mengajar orang untuk membuat bom. Hari ini, dia adalah salah satu dari beberapa mantan militan yang sekarang mengabdikan dirinya untuk memberi tahu masyarakat tentang bahaya yang ditimbulkan terorisme.
Pada bulan April dan Mei, ia menemani Ansyaad Mbai, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ke beberapa kota, berbicara secara terbuka tentang masa lalunya dan menjelaskan bagaimana terorisme mencemarkan Islam.
Meledakkan bom di tempat umum membunuh banyak orang tidak bersalah, termasuk anak-anak, jelasnya. Jaringan teroris mencuri uang untuk membeli bahan pembuatan bom. Yang terburuk dari semua ini, katanya, adalah mereka tidak bertanggung jawab atas serangan-serangan mereka, membiarkan orang lain dituduh melakukannya.
“Anda tidak bisa melakukannya secara diam-diam. Harus ada pemimpin yang bertanggung jawab,” katanya pada acara BNPT di Balikpapan, Kalimantan, menurut laporan jaringan kantor berita Jawa Pos.
Jihad keliling
Warga asli Lamongan, Jawa Timur berusia 42 tahun tersebut adalah adik bungsu Amrozi dan Ali Ghufron, keduanya dihukum dan dieksekusi karena peran mereka dalam bom Bali tahun 2002 yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan lainnya.
Dari tahun 1994 sampai 2006, Ali Fauzi adalah seorang anggota jihad keliling, bergabung dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Filipina Selatan, dan kekerasan Muslim-Kristen di Ambon dan Poso.
Pada tahun 1998-1999, ia menjadi seorang instruktur di sebuah kamp militan Jemaah Islamiyah (JI) di Jawa Timur, di mana dia mengajar hampir 250 orang cara merakit bom.
“Waktu itu saya adalah seorang instruktur untuk kelas teknik lapangan di sebuah kamp pelatihan di Jawa Timur. Saya mengajar mereka tentang bahan kimia dan perangkat pemicu untuk pembuatan bom,” katanya kepada Khabar Southeast Asia.
Dari tahun 1999-2002, di Ambon dan di Poso, ia menjadi koordinator lapangan untuk Komite Penanggulangan Krisis (KOMPAK), sebuah kelompok JI terkait dengan tujuan kemanusiaan.
Selama waktu ini, ia mulai kecewa pada JI, menyadari ajarannya tidak sesuai dengan Syariah Islam, karena mengizinkan kekerasan terhadap warga sipil.
“Saya benar-benar tidak pernah setuju dengan jihad yang melibatkan penyerangan/pengeboman gereja-gereja di daerah konflik, meledakkan klub malam di Bali atau hotel di Jakarta,” jelasnya.
Ia menyebut banyak dari tindak kekerasan ini sebagai “jihad yang salah.”
“Banyak jihad yang salah akan membunuh orang yang tidak bersalah. Hal ini juga menciptakan citra buruk bagi umat Islam. Selain itu, hal seperti itu bukan jihad karena Indonesia bukanlah tanah jihad,” tambahnya.
Menyelundupkan senjata
Ali menggambarkan bagaimana mudahnya bagi dia dan rekan-rekannya untuk memindahkan senjata di seluruh wilayah untuk memasok kaum Muslim memerangi kaum Kristen di Ambon dan Poso.
Ia mengatakan bahwa ia berpakaian sebagai pekerja migran untuk menyeberang ke Sabah di Malaysia timur, menggunakan perahu nelayan dalam kegelapan. “Anda tidak perlu paspor. Saya tidak membawanya. Bagi pihak keamanan, benar-benar sulit untuk memastikan identitas dan wajah Anda dalam kegelapan,” katanya kepada Khabar.
“Kami mengepak senjata dalam ransel punggung besar dan naik kapal nelayan atau kapal tanker minyak menuju Indonesia dari Filipina,” tambahnya.
“Rute dari Sabah ke Filipina Selatan adalah rute favorit bagi banyak pejuang militan di Asia Tenggara. Ini adalah rute yang sama yang digunakan oleh militan Indonesia untuk melarikan diri dari negara itu,” kata Kepala BNPT Ansyaad kepada Khabar. Ia mengatakan langkah regional antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Banyak teman, banyak sudut pandang
Ali aktif dengan MILF antara tahun 2003-2006. Tetapi sejak itu, ia telah hidup dalam kedamaian, dan berteman dengan banyak orang yang berbeda.
“Saya punya banyak teman, dari kalangan Kristen, Hindu, dan Cina. Saya cocok dengan mereka. Yang kita butuhkan adalah saling menghormati,” katanya.
Sebagai ayah dari lima orang anak, Ali aktif dalam pertanian dan pengajaran. Ia adalah seorang dosen di Sekolah Tarbiyah di Universitas Muhammadiyah dan pada Pesantren Al Islam, keduanya di Lamongan, Jawa Timur.
Dia mengajarkan tentang perlunya persatuan di antara pengikut Islam. Menurutnya, Islam menerima berbagai sudut pandang. “Perlu dipahami bahwa pandangan yang berbeda dalam Islam telah ada sejak waktu yang sangat lama dan tidak dapat dihindari,” katanya.
“Oleh karena itu, kita harus menghormati setiap sudut pandang lain… Jika kita tidak dapat melakukannya, hal tersebut akan merupakan akar dari radikalisme,” jelas Ali.
Dia menekankan bahwa imannya dalam Islam tidak akan pernah pudar. Meskipun ia menolak radikalisme dan aksi teroris, dia mengatakan bahwa dia masih menjadi seorang “mujahid” yang membela Islam melalui dakwah (pekerjaan misionaris) dan khotbah.
Pembela Islam sejati
Kisah Ali telah menginspirasi banyak orang. Justru karena bertahun-tahun yang ia habiskan di jalan yang salah, ia memiliki kredibilitas dalam menunjukkan jalan yang benar.
“Saya berharap di masa depan akan ada lebih banyak orang seperti Ali Fauzi – seseorang yang memutuskan untuk melakukan jihad dalam cara yang baik dengan menggunakan pengalaman pribadinya ketika ia menjadi anggota JI,” kata Hanung Wicaksono, seorang ulama Muslim di Jakarta Barat.
“Kami membutuhkan lebih banyak orang seperti Ali, yang sekarang membela Islam dengan cara yang baik,” tambahnya.
“Saya membaca profil baru-baru ini di media tentang Ali Fauzi. Saya cukup kagum dengan pengalamannya, dan saya senang dia memutuskan untuk mengubah dirinya dari seorang pelatih di kamp-kamp militan menjadi seorang pendidik. Ini adalah perubahan yang baik,” kata Bambang Setiyono, yang berusia 23 tahun di Tangerang, Jakarta.
Indonesia membutuhkan lebih banyak orang seperti Fauzi untuk “membantu pemerintah Indonesia mengatasi terorisme dan menjadi contoh yang baik bagi mereka yang menghargai jihad dengan cara yang salah,” kata Bambang.
“Dia sekarang menjadi duta perdamaian.”
sumber: kabarsoutheastasia