Pekan lalu, sebagai anggota pengurus Yayasan Wahid Institute (WI), saya hadir di kantor institut yang bergerak di bidang penguatan kebangsaan melalui toleransi dan kedamaian antar agama itu.
Di kantor yang terletak di kawasan Taman Amir Hamzah itu kami berdiskusi tentang banyak hal, dipimpin oleh direktur eksekutifnya, Yenny Wahid. Kami senang karena dalam keserbaterbatasannya, yayasan yang ingin melanjutkan ide-ide perjuangan Gus Dur dalam merawat NKRI itu masih bisa terus berkiprah, bahkan mampu membentuk jejaring kerja sama dengan berbagai negara lain.
Tagline The Wahid Intitute sebagai pernyataan kebulatan ide dan perjuangan Gus Dur adalah Seeding Plural and Peaceful Islam. Di antara hal-hal yang didiskusikan saat itu adalah fakta lapangan yang berhasil digali dan dianalisis WI tentang radikalisme dan terorisme. Ada temuan, bibit radikalisme dan terorisme sangat potensial tumbuh dan berkembang di lingkungan yang intoleran terhadap perbedaan, terutama dalam urusan agama dan keyakinan.
Secara sekilas temuan ini terasa biasa, tetapi sesungguhnya ia teramat penting sebagai bahan untuk menangani radikalisme dan terorisme yang selama ini sering menghantui kita. Soalnya, selama ini kita lebih meributkan radikalisme dan terorisme sebagai fakta yang harus diperangi secara represif tanpa secara serius memotong akarnya, yakni intoleransi terhadap perbedaan.
Padahal kalau akan serius menangkal dan memerangi radikalisme dan atau terorisme, kita harus menggunting akar-akarnya dan sikap intoleran terhadap perbedaan ini merupakan salah satu akar tunjang yang harus dibereskan di negara kita. Tak akan banyak gunanya perang langsung atau represi terhadap radikalisme dan terorisme kalau tidak disertai, bahkan didahului, penyelesaian terhadap tumbuhnya sikap intoleransi terhadap perbedaan, terutama perbedaan atas keyakinan.
Sesungguhnya pula bibit-bibit radikalisme dan terorisme itu ada pada setiap agama, bukan hanya pada agama tertentu. Ekspresinya memang bergantung pada lingkungan sosial dan politik, misalnya seberapa besar pengikut (mayoritas dan minoritas) di setiap negara. Upaya memberi pengertian kepada umat dari sudut Islam bahwa perbedaan adalah fitrah (melekat pada manusia dan masyarakatnya serta tak bisa dihindari) telah dilakukan secara mati-matian oleh Gus Dur yang kini dilanjutkan, antara lain, oleh WI.
Kami selalu menjelaskan bahwa menurut kitab suci Alquran sebagaimana tercantum di dalam Surat Al-Maidah ayat 48, perbedaan itu sengaja diciptakan oleh Allah. Oleh sebab itu tak boleh ada kekerasan karena perbedaan, apalagi mengatasnamakan perintah Tuhan atau membela agama.
Kalau Allah menghendaki manusia di dunia hanya sejenis, misalnya hanya mau satu ras dan satu agama, Allah pasti bisa melakukannya. Kalau tidak bisa melakukan itu berarti Dia bukan Tuhan. Yang beriman kepada Allah dan kemahakuasaannya harus yakin pula bahwa perbedaan itu diciptakan oleh Allah sendiri.
Untuk apa? Untuk ujian bagi yang memperjuangkan kebenaran dan agar manusia bisa berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Pemuka agama apa pun perlu menyampaikan hal yang sama kepada umat masing-masing. Lisa Wahid, putri sulung Gus Dur, yang juga hadir pada pertemuan itu memberi pandangan yang menarik. Katanya, di lapangan ada problem pendekatan dalam mengatasi tindak kekerasan sehingga tampak ambigu dan mengawang.
Secara hukum dan konstitusi ada dua hal yang sekilas tampak berbeda dalam menyikapi intoleransi dengan tindak kekerasan. Pada satu sisi ada ketentuan tentang hak asasi manusia yang menurut konstitusi melekat pada setiap orang dan harus dilindungi oleh negara, termasuk hak untuk beragama dan berkeyakinan.
Pada sisi lain aparat penegak hukum seperti Polri diarahkan oleh konstitusi kita untuk menjaga ketertiban, mengayomi masyarakat, dan menyelesaikan masalah secara damai dan harmonis. Dilapangan, kecuali dalam dugaan dan pendugaan terorisme, dalam menghadapi kasus konkret tindakan intoleran dan tindak kekerasan kerap kali aparat penegak hukum lebih memilih menyelesaikan secara kompromi, tidak melakukan tindakan tegas, bahkan terasa sering mengalah, terhadap pelaku kekerasan; misalnya membubarkan forum dialog atau ritual yang seharusnya dilindungi.
Kepentingan untuk menjaga ketertiban ”bersama” dantidakmelanjutkan keributan kerap kali didahulukan dari perintah konstitusi untuk melindungi hak asasi ”orang” dalam berkeyakinan dan berdiskusi untuk bertukar pikiran. Kata Lisa, dilema dan ambiguitas pendekatan seperti itu harus dikaji secara cermat untuk menemukan format yang tepat agar perintah konstitusi terpenuhi.
Yang juga mempermudah provokasi bagi radikalisme dan terorisme adalah kemiskinan dan ketidakadilan. Saya pernah mendapat beberapa SMS aneh dari nomor yang tak saya kenal pemiliknya dan mungkin dia hanya iseng. Pengirim SMS meminta dicarikan channel ke pimpinan ISIS karena dia akan mendaftar masuk ISIS. Alasannya, kata dia, kalau masuk ISIS bisa mendapat 20 juta rupiah sebulan, sedangkan di Indonesia hidupnya sangat susah karena miskin.
Terlepas dari kemungkinan dikirim karena iseng, SMS itu mengonfirmasi bahwa ”hidup fakir dan miskin bisa mendorong orang melakukan kejahatan, termasuk terorisme”. Kata Nabi Muhammad, ”Kaada al faqru an yakuuna kufran,” kemiskinan (kefakiran) itu mendorong orang menjadi kafir (melanggar, bertindak nekat). Begitu pun ketidakadilan sering kali dijadikan umpan oleh para radikalis untuk mengajak orang melakukan tindak kekerasan.(bbg)
sumber : sindonews