Yogyakarta – Fenomena tumbuhnya benih radikalisme di lingkungan sekolah sangat mengkhawatirkan. Sekolah sebagai tempat untuk mendidik generasi masa depan bangsa sehingga apapun bentuknya, penyebaran paham yang ingin merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus dijauhkan dari lingkungan sekolah.
Untuk itulah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah menyiapkan langkah strategis untuk menjauhkan radikalisme dari lingkungan sekolah. Kemendikbud sejauh ini telah berkoordinasi dengan Kementerian Agama (Kemenag) untuk meninjau ulang kurikulum pendidikan agama di sekolah.
“Kurikulum pendidikan agama kita memang perlu ditinjau secara radikal,” ujar Mendikbud Muhadjir Effendy di Yogyakarta, Senin (25/3/2019).
Muhadjir menilai pendidikan agama yang diberikan di sekolah saat ini orientasinya terlalu serba pengetahuan dan yang menjadi kontennya pun sangat determenistik.
“Maksudnya sangat deterministik itu bahwa dalam pendidikan agama itu isinya pokoknya agama yang dianut anak didik itu yang paling benar, yang lainnya tidak benar,” imbuhnya.
Baca juga : Densus 88 Ciduk Terduga Teroris Jaringan JAD Sibolga di Lampung
Menurut Mendikbud, pengetahuan pendidikan agama yang deterministik itu menjadi salah satu penyebab sempitnya pemahaman agama. Apalagi itu dibentuk sejak dini, sehingga lambat laun mengubah orang menjadi berpandangan radikal.
Ia menjelaskan, jika ingin memasukkan konten semangat toleransi pada anak didik, materi pemahaman agama harus bisa memberi gambaran utuh. Misalnya jika si anak mendapat materi bahwa agamanya paling benar, dalam saat bersamaan harus diyakinkan pula jika ada orang lain yang berpandangan agamanya paling benar juga. Dengan demikian ruang kesadaran anak pun terbentuk secara dominan untuk tidak menyalahkan orang lain dan membenarkan dirinya sendiri.
“Tapi yang tertanam di kesadaran anak-anak didik sekarang hanya satu sisi, bahwa agama yang dianutnya paling benar dan lainnya salah,” jelasnya.
Perubahan persepektif yang berimbang dalam pendidikan agama, menurut Muhadjir, harus mulai disuarakan lebih gencar. “Kita harus berani telanjang membuka diri bagaiamana pendidikan agama yang ada di sekolah, tidak hanya lembaga formal tapi juga non-formal,” imbuhnya.
Muhadjir mengakui persoalan di Indonesia saat ini bukan hanya toleransi antar umat beragama, tapi juga toleransi internal umat beragama. Masing-masing kelompok, melalui lembaga pendidikan berusaha meyakinkan apa yang diajarkan kelompok itu paling benar.
Pendidikan agama sebenarnya bukan menjadi ranah yang ditangani Kemendikbud, melainkan kewenangan Kemenag. “Namun, seringkali jika ada peristiwa radikalisme atau intoleransi di sekolah yang kena getah Kemendikbud. Karena dalam undang-undang yang bertanggungjawab atas peristiwa di sekolah tetap kementerian pendidikan,” pungkas Muhadjir.