Pekanbaru – Pendiri kelompok radikalisme Negara Islam Indonesia (NII) yang sempat tenar dan mengkhawatirkan, Ken Setiawan, mengingatkan para mahasiswa di Riau agar mewaspadai perekrutan paham radikal.
Ia mengatakan, seseorang yang masuk ke paham radikal hingga melakukan aksi terorisme akan merugikan keluarga sendiri.
“Dulu, saya hanya butuh 20 menit maksimal 2 jam untuk merekrut anggota NII yang baru. Saya memengaruhi target, terutama mahasiswa untuk menerima paham radikal NII,” ujar Ken dalam Diskusi Indonesia Damai Tanpa Hoax, Intoleransi, dan Ekstremisme yang diselenggarakan Mabes Polri di Pekanbaru, Riau, Kamis (24/1).
Ken mengaku pernah mendapat penghargaan perekrut terbaik saat masih menjadi anggota NII sekitar tahun 2000 silam. Di hadapan seratusan mahasiswa di Kota Pekanbaru, Ken menceritakan pengalamannya menjadi salah satu perekrut aktif NII pada tahun 2000 hingga 2003.
Baca juga : Kapolri: Penanggulangan Terorisme Di Indonesia Junjung Supremasi Hukum & HAM
Ia mengatakan mahasiswa dan kalangan pelajar merupakan target utama kelompok radikal.
Menurut Ken, pergerakan NII pada dua dekade lalu menyasar kalangan muda, terutama mahasiswa yang jauh dari pengawasan orang tua. Bahkan jika mahasiswa yang memiliki pengetahuan agama hanya sekedarnya saja, Ken menyebutkan itu sasaran target paling empuk untuk dipengaruhi.
“Saya dulunya juga tukang ‘cuci otak’, atau sebutan umum praktik perekrutan tersebut memanfaatkan kelemahan pemahaman mahasiswa tentang Islam serta sikap tidak kritis. Mahasiswa yang tidak kritis akan sangat mudah untuk dipengaruhi dan menelan mentah-mentah paham radikal,” paparnya.
Seorang mahasiswa yang sudah terpengaruh paham radikal, terus Ken, akan mudah untuk dikendalikan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan mahasiswa dengan mudahnya membohongi orangtua. Itu dilakukan agar mendapatkan dana dari orangtua untuk memuluskan aksi radikal yang sedang dijalaninya.
Ken mencontohkan, ada seorang mahasiswa yang sudah terpengaruh akan meminta uang kuliah, padahal mereka sudah drop out.
“Ada juga mahasiswa yang meminta uang hingga Rp300 juta pada orang tua untuk mengganti alat laboratorium, padahal dia sudah DO. Ibunya sampai datang ke kampus untuk menanyakan perbuatan anaknya kok disuruh ganti hingga ratusan juta. Akhirnya si dosen menceritakan bahwa anak ibu itu sudah dikeluarkan dari kampus,” ia membeberkan.
Dikatakanya lagi, perekrutan kelompok radikal terus berubah dari masa ke masa. Berbeda pada awal tahun 2000 an, saat ini pergerakan kelompok radikal lebih fleksibel. Mereka menyamar agar diterima di tengah-tengah masyarakat.
“Kalau dulu saya merampok dan mencuri untuk dapat uang, tapi sekarang mereka yang menyebarkan paham radikal itu membuat yayasan lalu memungut uang dengan berpura-pura untuk pembangunan. Mereka punya tanda pengenal yayasan, minta sumbangan. Ini yang merusak nama baik kelompok tertentu,” jelasnya.
Menurut Ken, jika sebelumnya dilakukan di kampus untuk merekrut anggota baru, kini mereka melakukannya di tempat kumpul anak-anak muda.
Bahkan, mereka juga memanfaatkan alumni kampus sebagai jembatan perekrutan mahasiswa.
Hal itu yang sebelumnya terjadi di Universitas Riau, saat Densus 88 menangkap tiga terduga teroris pada 2018 lalu.
“Bersama-sama kita harus mewaspadai. Peduli dengan lingkungan dan perbanyak kegiatan positif,” tandasnya.