Antisipasi Tindak Pidana Pencucian Uang dan Terorisme, PPATK: Harus Ada Penguatan UU

Jakarta – Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK) menyimpulkan perlu segera penguatan pengaturan dan penerapan transparansi informasi pemilik manfaat dari korporasi melalui penguatan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 30 tahun 2018. Itu penting sebagai langkah antisipasi tindak pidana pencucian uang dan terorisme.

Kesimpulan itu disampaikan Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin di Jakarta, Selasa (27/3/2018). Menurutnya, ada beberapa pokok persoalan yang perlu dihadapi melalui penguatan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 13 tahun 2018 yang mengatur tentang Penerapan Prinsip Mengenaii Pemilik Manfaat Atas Korporasi Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Kiagus mengungkapkan, berbagai kejahatan yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun melintasi batas wilayah negara lain semakin meningkat.

“Kejahatan tersebut antara Iain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan wanita, dan anak, perdagangan senjata gelap, pencucian, terorisme dan berbagai kejahatan kerah putih Iainnya,” ujar Kiagus dikutip dari laman tribunnews.com.

Kiagus menilai kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan dan menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar. Korporasi kerapkali digunakan oleh pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan menyamarkan identitas pelaku dan hasil tindak pidana.

“Korporasi ini dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana sebagai kendaraan atau media pencucian uang,” katanya.

Kiagus berkaca pada penelitian Financial Action Task Force (FATF) tahun 2014 menyatakan bahwa rendahnya informasi pemilik manfaat yang akurat dan benar kerapkali dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan identitas pelaku; menyamarkan tujuan pembukaan rekening korporasi yang akan dijadikan media pencucian uang; dan menyembunyikan tujuan penggunaan harta kekayaan dari korporasi yang diduga dari tindak pidana.

“Tingkat ancaman pidana pencucian uang yang dilakukan oleh orang korporasi lebih tinggi dengan nilai ancaman sebesar 7,1 dibandingkan oleh perorangan dengan nilai sebesar 6,74,” papar Kiagus.