Jakarta – Karakter manusia Indonesia adalah manusia pejuang pantang menyerah yang membangun peradabannya dengan modal persatuan. Karenanya memahami sejarah bangsa adalah sebuah kewajiban, karena sejarah adalah penting untuk menguatkan karakter bangsa.
Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Bayt Quran, Dr. Syarullah Iskandar, MA, megatakan bahwa saat ini perlu diwaspadai ada pihak-pihak yang memunculkan istilah ‘kembali ke Al Qur’an dan Hadist’. Menurutnya, kelompok ini sedang berupaya memutus sejarah keilmuan atau silsilah keilmuan agama Islam yang sudah terbangun selama ini.
“Mereka mengatakan ‘oh tidak usah kita mengikuti mahzab ini, mahzab itu’ yang sebenarnya secara tidak langsung mereka justru sedang membangun mahzab baru, dan itu bahaya. Mereka berupaya dan memaksa diri untuk mandiri dalam memahami atau menggali teks-teks keagamaan, padahal pemahaman dan dasar keilmuannya tidak memadai,” ujar Dr. Syarullah Iskandar, MA, di Jakarta, Jumat (7/8/2020).
Menurutnya, untuk memahami dan menggali teks-teks keagamaan itu perlu pendampingan oleh orang yang berkompeten untuk terus berguru. Dia menuturkan, makanya dalam agama itu sebenarnya adalah fas`alu ahla adz-dzikri “bergurulah kepada yang ahlinya”. Karena kalau memahami Al Qur’an, misalnya hanya satu (1) ayat saja yang dipahami dan tidak dikaitkan dengan ayat yang lain, tentunya pasti ada yang kurang mengena pemahamannya.
“Hadis pun demikian. Karena mereka itu parsial ketika membaca sesuatu, tidak universal. Istilahnya kacamata kuda. Karena sumber mereka terbatas sesuai doktrin dari para gurunya dan tidak mencoba menelaah dari sumber-sumber lain,” tutur pria yang juga Dosen Fakultas Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Lebih lanjut, Syarullah mengungkapkan bahwa selama dirinya menjadi narasumber dalam program deradikalisasi di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ia menyadari bahwa mereka yang telah terpapar paham radikal terorisme itu karena dulunya mereka dicekoki doktrin begitu saja tanpa melakukan tabayyun atau menelitu terlebih dahulu.
“Setelah kita debat, kita kasih data-data yang lain selain yang diterima dari jaringan mereka, maka mereka sadar juga. Jadi saya kira memahamkan sesuatu hal ini harus terus berkelanjutan. Oleh karena itu banyak sektor yang harus kita masuki. Sektor komunikasi informasi, IT nya itu harus kita perkuat, karena mereka juga lihai dalam hal itu. Kemudian indoktrinasinya harus positif sehingga mereka bisa melakukan tabayyun terlebih dahulu dalam melihat suatu permasalahan,” terangnya.
Peraih gelar doktoral dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menerangkan bahwa menyadarkan orang karena pernah terlibat maupun terpapar paham radikal terorisme memang tidak harus diukur dengan cepat karena prosesnya lama. Karena ini menyangkut ideologi, dan kalau orang sudah berbicara ideologi itu ibaratnya punya 1000 nyawa. Dimana mati satu nyawa masih ada 999 nyawa lagi.
“Jadi seperti kanker. Itu memang agak memakan waktu (untuk mengatasinya). Harus berkelanjutan, terencana dengan baik, sistematis dan tepat sasaran. Saya kira itu yang harus dipadukan ketika menyusun program. Karena paham radikal teorisme di indonesia bagaimanapun tetap ada karena paham ini memang karena jaringan, bukan berarti satu orang ditangkap lalu sudah selesai,” ucap pria yang juga Sekretaris Umum The Nusa Institute itu.
Pria yang juga anggota Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ) ini juga menyarankan adanya upaya pencerahan kepada masyarakat untuk mencegah dan melindungi dari paham tersebut. Ia mengajak para penceramah untuk menggunakan metode yang lebih friendly dalam menyampaikan dakwah agar lebih mudah ditangkap dan dicerna oleh nalar masyarakat dan kaum milenial.
Sebagai contoh misalnya ‘frekuensi’ dalam memberikan pemahaman keagamaan agar lebih mengena ke masyarakat itu harus ditingkatkan. Kedua pengembangan metode memberikan arahan, karena generasi milenial kan banyak perubahan dari yang sebelum-sebelumnya.
“Misalnya dia lebih visual ketimbang baca teks, nah kecenderungan-kecenderungan ini harus dibaca kemudian diisi dengan konten-konten yang menarik. Tentu saja kontennya isinya untuk memberikan pemahaman moderat kepada masyarakat dalam hal keagamaan,” ungkapnya.
Selain itu ia menyarankan agar pemerintah juga merangkul tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat. Karena tokoh agama itu punya massa, sehingga ketika dirangkul diharapkan mereka bisa menularkan ilmunya kepada masyarakat. Sehingga pemahaman yang moderat ini lahir dari situ.
“Dakwahnya tentu saja harus memberikan keteladanan, kemudian harus sesuai konteks zaman yang ada. Karena kekurangan kita selama ini selalu mengaggap zaman kita itu yang terbaik di masa dulu, padahal zaman kan berubah. Mungkin poin yang ingin disampaikan sama dengan yang dulu-dulu tetapi mungkin cara memahamkannya kekinian, kemudian metodenya juga kekinian itu pasti menarik untuk generasi muda,” tutupnya.