Jakarta – Keberadaan media penyebar hoax dan radikalisme akhir-akhir ini sudah sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, media-media membuat berita bohong untuk melakukan propanganda yang tujuannya untuk menciptakan suasana tidak kondusif, bahkan bisa mengancam disintegrasi bangsa.
“Intinya masyarakat harus pintar agar tidak terkecoh berita bohong dari media penyebar hoax dan radikalisme. Tapi masalahnya masih banyak masyarakat yang belum paham memilah mana media penyebar informasi yang benar atau tidak,” ujar pengamat intelijen DR. Wawan Hari Purwanto, SH, MH di Jakarta, Kamis (12/1/2017).
Untuk itu, Wawan menyarankan agar masyarakat berpegang pada media mainstream sebagai acuan memilih informasi. Menurutnya, media berita-berita di media mainstream, terutama media online lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang media yang tidak jelas. Apalagi, sekarang ini banyak situs-situs abal-abal. Ironisnya, berita atau foto yang disebar media abal-abal di media sosial bisa viral, meski isinya tidak berdasar alias hoax.
Wawan menilai keberadaan media penyebar hoax dan propaganda radikalisme sangat membahayakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Apalagi kalau berita itu bersifat menghasut.
“Intinya, kita harus cerdas dan kritis saat menerima informasi, utamanya dari media di dunia maya maupun media sosial. Jangan langsung percaya dengan apa yang kita dapat dari media. Verifikasi lebih dulu, sebelum mempelajari atau menyebarkan lagi,” ungkap pria yang juga Direktur Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional ini.
Untuk mengatasi masalah media penyebar hoax dan propaganda radikalisme, pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait dibawah koordinasi Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), sudah melakukan langkah-langkah untuk menangani media tersebut. Salah satunya memblokir situs-situs bermuatan negatif dan SARA.
Menurut dosen Lemhanas ini, apa yang dilakukan Kemenkominfo itu sudah tepat dan sesuai dengan Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik (UU ITE). Selain itu, ia juga yakin penegak hukum (polisi) bisa diandalkan untuk menembus dan mencari siapa pembuat dan sumber berita yang disebarkan media hoax dan radikalisme itu. Tidak hanya UU ITE, para pelaku itu juga dijerat dengan UU hukum pidana.
“Tinggal bagaimana penerapan di lapangan. Karena yang penting adalah efek jera. Kalau kita setiap hari dicekokin berita-berita hoax bisa kacau ini nanti. Itu juga berakibat masyarakat semakin tidak dicerdaskan dan dibodoh-bodohi. Jelas itu tidak baik dan akan membuat bangsa kita semakin susah,” imbuh Wawan.
Wawan berpandangan bahwa yang bisa tameng dalam menyelamatkan masyarakat dari bahaya berita hoax dan radikalisme adalah diri mereka sendiri. “Apa yang kita baca, kita dengar dan apa yang kita lihat, semuanya itu akan mempengaruhi otak kita, karakter kita, dan juga pikiran kita. Nah, filternya harus pandai-pandai menyikapi informasi dan tidak menelan mentah-mentah,” tuturnya.
Untuk memverifikasi berita itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Diawali dengan langkah mencari kebenaran berita itu, kemudian dicari dasar dan sumber-sumber beritanya. Setelah itu, harus juga diketahui penulisnya, juga dicari tahu apakah ada tendensi dibalik berita itu. Tidak kalah penting disaring lagi, apakah berita itu ada provokasi atau propagandanya.
“Semuanya itu harus kritis menyikapinya. Karena kalau tidak, maka dia akan taklit. Taklit itu mengikuti pendapat orang lain tanpa mau mengetahui sumber atau alasannya,” ungkap Wawan.
Dampak dari berita hoax dan propaganda radikalisme itu sangat besar. Wawan menambahkan bahwa kalau masyarakat mudah terpengaruh informasi yang sumbernya tidak jelas, mereka sama saja seperti robot. Bila demikian, mereka bergerak seperti mesin tanpa berpikir.
“Kita memang tidak bisa menutup diri dengar berbagai pendapat di sekitar kita apalagi itu dimuat dalam sebuah bingkai berita atau tulisan. Tapi itu tadi jangan kita menelan mentah-mentah informasi atau berita yang belum jelas asal-usulnya. Kalau tidak kita akan terjebak pada genderang yang ditabuh oleh si penulis atau pemberi berita itu,” tandas Wawan Purwanto.