Surabaya – Polrestabes Surabaya menggelar diskusi bertajuk “Mewaspadai Gerakan Kelompok Teroris Guna Menciptakan Situasi Kamtibmas Pilpres dan Pileg yang Aman, Damai, dan Sejuk”, Kamis (28/3).
Untuk menghidupkan kegiatan diskusi, sebagai pembicara didatangkan mantan teroris, Mohammad Nasir Abbas untuk berbicara tentang bahaya dan ancaman terorisme di depan puluhan tokoh agama, tokoh masyarakat dan organisasi kemasyarakatan.
Nasir Abbas yang pernah menjabat sebagai ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) mengatakan, pelaku terorisme saat ini tidak memerlukan orang yang merekrut. Mereka dapat terekrut dengan sendirinya setelah membaca buku atau tulisan para tokoh terorisme. Benih kebencian yang berhasil ditumbuhkan menjadi awal seseorang terekrut dengan sendirinya untuk melakukan aksi terorisme.
“Orang bisa terekrut dengan mudah ketika diberikan rasa kebencian, awalnya saya seperti itu, diberikan rasa kebencian. Maka sangat mudah saat ini, zaman ini menjadi self recruited, terekrut sendiri,” ujarnya.
“Yang di Sibolga, mereka tidak pernah ketemu sama Amman Abdurrahman. Tetapi bahan bacaan tulisan Amman Abdurrahman itu yang mereka pakai. Bagaimana belajar bomnya dari internet, tetapi dipermahir dengan komunikasi, chating, diarahkan oleh orang-orang yang pernah di Suriah, lewat media sosial. Ujung dunia di Suriah bisa mengajarkan dalam negeri di Indonesia. Bukan suatu hal yang mustahil sekarang,” ia menambahkan.
Kuatnya pengaruh suatu ajaran atau paham radikalisme, lanjut Nasir Abbas, dapat mempengaruhi orang untuk menjadi pelaku terorisme. Seperti paham Takfiri yang disebarkan teroris pendukung ISIS, Aman Abdurrahman beberapa tahun terakhir.
Nasir Abbas membandingkan dirinya yang dulu direkrut menjadi mujahid atau membantu mujahidin berjuang di Afganistan untuk berjihad, dengan pola perekrutan pelaku teroris menurut paham Amman Abdurrahman.
Baca juga : Masyarakat Harus Cerdas dalam Menggunakan Medsos demi Merawat Persatuan
Aksi teroris saat ini tidak lagi dilakukan berkelompok dengan bom berdaya ledak tinggi, melainkan lebih pada aksi individu dengan berbagai senjata yang dimiliki.
“Termasuk yang terjadi di Surabaya, yang tahun lalu, kemudian yang terjadi baru-baru ini di Sibolga. Itu semuanya berpaham Amman Abdurrahman. Mereka membaca artikelnya Amman Abdurrahman, mereka meyakini bahwa ini sudah saatnya kita harus berjihad, ini sudah saatnya kita harus melakukan sesuatu, dan bahkan Amman Adburrahman mengatakan jihad itu tidak mesti harus berjamaah,” Nasir Abbas menjelaskan.
“Jihad itu harus dibuktikan imannya, bagaimana membuktikan imannya. Kalau kita membuktikan iman ya dengan banyak shalat, banyak ibadah dan lain-lain. Tetapi Amman Abdurrahman mengatakan kita harus buktikan iman dengan melakukan sesuatu kepada orang kafir, terutama kepada polisi.”
“Kalau tidak punya bahan peledak, gunakan senjata api. Kalau tidak punya senjata api gunakan senjata tajam. Kalau tidak punya senjata tajam ambil satu batu timpukkan ke polisi, itu juga bagian dari jihad,” ia memaparkan.
Pada masa lalu, lanjut Nasir Abbas, keterlibatan pelaku teroris dari luar Indonesia untuk melakukan aksi teror di dalam negeri didukung oleh sel-sel teroris di Indonesia, yang menghendaki berdirinya negara Islam menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tapi kini, aksi pelaku bom bunuh diri di Surabaya hingga di Sibolga, menunjukkan perkembangan model aksi teror yang dilakukan secara sporadis dan mandiri. Perempuan dan anak-anak dilibatkan sebagai pelaku bom bunuh diri.
“Dita cs, 3 keluarga, istrinya siap meledakkan diri karena ada suami. Tetapi ditawarkan bagi wanita-wanita lajang yang ingin berpartisipasi menjadi mujahidah, meledakkan dirinya berjihad, maka harus menikah dulu supaya nanti suaminya yang menggiring, membawa ke tempat, lokasi, kemudian suaminya pergi, tinggallah dia meledakkan diri. Itu operasinya, dan itu terjadi,” urai Nasir Abbas.
“Nah, yang di Klaten juga seperti itu. Jadi si Abu Hamzah, suaminya wanita yang meledakkan dirinya di rumah Sibolga, itu sudah punya 2 calon istri, dan 2 calon istri ini siap untuk dipoligami dengan syarat mahar, maharnya apa, seperangkat rompi bom,” tambahnya.
nLebih lanjut dikatakannya, berkaca dari banyak kejadian teror tersebut kini ia ingin mengajak masyarakat Indonesia bersama-sama memerangi terorisme dan mempertahankan NKRI yang berbhinneka tinggal ika.
“Negara tercinta kita ini sudah merdeka sekian tahun. Kita dengan beragam bangsa, suku dan agama tapi bisa bersama, ini harus kita jaga, jangan sampai orang-orang ini, dulu saya percaya untuk menegakkan negara Islam, tetapi kemudian saya pelajari sendiri, ternyata ada tempatnya, dan ada keadaannya,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya, Kombes Pol. Rudi Setiawan mengatakan, pihaknya mengajak semua elemen masyarakat untuk peduli dari ancaman terorisme dengan membangun kesadaran bersama.
Polrestabes Surabaya saat ini juga sudah menyiagakan lebih dari 2.300 personel gabungan untuk memastikan Kota Surabaya aman dari gangguan saat Pemilu 2019 berlangsung.
“Kita tak mau membesar-besarnya terorisme. Nanti hal yang kecil dijadikan besar. tapi kita terus bekerja. Yang penting adalah kita bersama-sama mengantisipasi dan mengatasinya,” jelas Rudi.