Baru saja dunia internasional dikagetkan dengan peristiwa kerusuhan massal yang terjadi di Iran. Demonstrasi yang berujung anarakisme dan kekerasan di sejumlah wilayah Iran memakan korban hingga puluhan orang baik dari pihak pemerintah maupun pihak demonstran. Kerusuhan yang terjadi disebabkan beberapa media sosial yang dimanfaatkan provokator dalam menyebarkan dan memanaskan situasi dengan informasi-informasi yang beredar. Bahkan akibat peristiwa ini yang terus meluas pemerintahan Iran melalui Menteri Telekomunikasi Mohammad-Javad Azari Jahromi menutup kedua aplikasi tersebut yaitu Telegram dan Instagram.
Bukan hanya Iran, beberapa persitiwa dunia terkait juga dipengaruhi informasi yang berkembang di media social. Dapat dicatat beberapa kejadian misalnya peristiwa British exit (brexit), kerusuhan di Mesir yang berujung kejatuhan Presiden Hosni Mubarak, perubahan yang terjadi di Tunisia, Arab spring yang terjadi di Timur tengah seperti di Suriah, Irak dan Yaman, dan kerusuhan yang terjadi di Republik Moldova. Ke semua negara tersebut ikut mengalami kekerasan dan anarkisme, instabilitas pemerintahan bahkan berujung pada krisis berkepanjangan di seluruh sektor kehidupan masyarakat.
Kekerasan yang dipicu oleh informasi yang beredar di media sosial cukup meresahkan seluruh negara-negara di dunia saat ini. Keterbukaan dan kebebasan ruang publik justru akhir-akhir ini menjadi bumerang bagi negara itu sendiri. Sebelumnya, Juli 2017 pemerintah Indonesia melalui Kemenkominfo juga pernah menetapkan menutup saluran Telegram karena media ini menjadi media favorit yang digunakan kelompok radikal terorisme (ISIS) dalam menyebarkan paham, doktrinasi, hasutan, penyebaran kebencian, ajakan bergabung, bahkan sampai pelatihan merakit bom. Selain itu dalam upaya pencegahan konten kekerasan (radikal terorisme), pemerintah berulangkali berkoordinasi dengan stakeholder media sosial baik facebook, twitter guna mengantisipasi penyebaran konten negatif yang bertebaran di media sosial tersebut.
Tercatat beberapa konflik sosial yang terjadi juga disebabkan di media sosial misalnya kerusuhan di Tanjung Balai, Sumatera Utara, perayaan Nyepi di Bali bahkan konflik Tolikara yang terjadi di Papua hampir saja menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia karena pemberitaan di media social. Menurut Polri pada tahun 2017 ada sekitar 5.061 kasus kekerasan di ranah cyber dan 50 persen konflik sosial yang terjadi lebih disebabkan media social. Kemudian yang cukup mengkhawatirkan beberapa waktu yang lalu Ditjen Aptika Kemenkoinfo menyampaikan bahwa peningkatan penyebaran konten negatif di media sosial begitu massif d iantaranya berupa konten ujaran kebencian, fitnah dan berita bohong (hoak) yang keseluruhan hingga mencapai 5000 konten.
Rentetan kejadian kekerasan, radikalisme dan terorisme di beberapa negara tersebut menjadi peringatan kita bersama. Jangan sampai IT menjadi wabah bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara kita. Perkembangan teknlogi dan informasi seyogyanya memberikan dampak positif kepada masyarakat dan kelahiran media sosial di era milenial ini seharusnya untuk memudahkan manusia baik untuk membangun hubungan dengan orang lain, mempererat silaturahmi, mendekatkan yang jauh, serta memudahkan komunikasi antar sesama.
Jangan sampai justru kemunculan media sosial ini malah akan merusak harmonisasi sosial, apalagi sampai menghancurkan tatanan bernegara yang sudah terbangun selama ini. Patut menjadi renungan seluruh anak bangsa, media sosial tanpa kecerdasan penggunanya justru hanya akan menjadi “media sial” yang akan merusak segala hal baik itu bagi pengguna media sosial tersebut maupun harmoni masyarakat bangsa.
Yuk bersama cerdas di dunia maya dan bijak bermedia sosial