Jakarta – Agresi militer Israel terhadap Palestina menjadi permasalahan yang tak kunjung usai. Tidak hanya agresi, Israel juga melakukan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza melalui serangan militer yang membabi buta. Ribuan nyawa orang Palestina setiap hari harus melayang, sementara cita-cita kemerdekaan Palestina masih jauh dari harapan. Kondisi itu diperparah oleh standar ganda Hak Asasi Manusia (HAM) yang disematkan oleh negara-negara sekutu Israel terhadap mereka. Sialnya lagi, tragedi kemanusiaan ini seringkali dimanfaatkan sebagai narasi marketing bagi mereka yang mengusung ideologi khilafah.
Direktur Eksekutif Intersolutional Conference of Islamic Scholars (ICIS), KH. Khariri Makmun, Lc., Dpl., MA., menyayangkan adanya pihak-pihak yang memanfaatkan penderitaan rakyat Palestina untuk melancarkan narasi politik apapun, termasuk yang bernafaskan khilafah.
“Mem-framing isu kemanusiaan di Palestina dengan agenda khilafah justru akan merugikan rakyat Palestina. Permasalahan Palestina sudah menjadi isu global yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, genosida dan kejahatan kemanusiaan. Aktor-aktor yang menggerakkan isu Palestina semakin meluas, dan tidak dibatasi oleh sentimen ideologi, agama, negara, suku dan ras. Mari kita tunjukkan kepedulian bersama dengan mengawal kemerdekaan dan keadilan untuk Palestina agar tidak ditumpangi oleh pengusung ideologi Khilafah,” seru KH. Khariri di Jakarta, Rabu (12/6/2024).
Ia menambahkan, pengerahan massa dalam demonstrasi “Bela Palestina” kadang malah berkontribusi pada destabilisasi Indonesia. Khilafah adalah salah satu isu yang sering diangkat dalam kesempatan tersebut. Padahal, demonstrasi di dalam Indonesia sendiri bukanlah cara yang efektif dalam menyuarakan dukungan diplomasi pada Palestina di depan wajah dunia internasional.
“Upaya-upaya yang kontraproduktif dalam mendukung Palestina justru mereduksi dan mengecilkan segala perjuangan Indonesia untuk Palestina. Terlalu menyederhanakan masalah jika persoalan Palestina dibawa pada narasi ‘karena tidak ada Khilafah.’ Namun, publik sudah cukup paham dengan kebiasaan kelompok-kelompok seperti ini, karena apapun isunya, baik politik, sosial, atau apapun itu, pasti akan dibawa pada ideologi perjuangan mereka, yaitu khilafah,” papar KH. Khariri.
Menurut Pengasuh Pesantren Algebra di Ciawi Bogor ini, berbagai bentuk dukungan yang mengalir pada Palestina faktanya datang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Tidak hanya lintas negara, namun juga lintas agama dan ideologi. Hal ini ditunjukkan dari semakin masifnya dukungan terhadap Palestina, tidak hanya dari negara Timur Tengah dan Asia, namun juga Amerika dan Eropa.
“Saya khawatir jika platform dukungan terhadap Palestina diletakkan pada ideologi khilafah, ini akan mengecewakan dan mencederai semangat bersama umat manusia dalam menentang penjajahan di atas dunia. Sejak awal banyak negara dan komunitas internasional dengan latar belakang yang berbeda, turut mendukung Palestina dengan asas kemanusiaan,” terang KH. Khariri.
Salah satu peristiwa terbaru yang sempat menyita perhatian seluruh dunia adalah ketika Israel membombardir kamp pengungsi yang ada di Rafah, Gaza. Jatuhnya banyak korban dari masyarakat sipil dianggap sebagai niat sesungguhnya Israel melepaskan roketnya, dan ini sudah bisa dikatakan sebagai genosida di abad modern.
Menurut KH. Khariri, Indonesia perlu menyiapkan second track diplomacy. Maksudnya adalah dengan mendatangkan figur yang dipandang netral dan tidak mewakili Pemerintah, untuk melakukan penjajakan dengan para tokoh Hamas.
“Sama dengan kemarin ketika Taliban pertama kali berkuasa di Afghanistan, Indonesia juga memfasilitasi pembicaraan langsung dengan tokoh-tokoh Taliban yang ada di Qatar. Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya rasa perlu ada dialog dengan kelompok-kelompok garis keras seperti Hamas melalui pendekatan second track diplomacy,” imbuh KH. Khariri.
Wakil Sekretaris Komisi Dakwah MUI Pusat ini berharap agar masyarakat Indonesia bisa melihat persoalan Palestina dengan proporsional. Dirinya berpendapat bahwa platform kemanusiaan harus menjadi landasan penyelesaian konflik di Palestina. Banyak hal yang terjadi disana tidak sesederhana dilihat.
“Hanya Indonesia dengan negara-negara tertentu nyatanya tidak mampu. Bahkan OKI (Organisasi Konferensi Islam) saja yang berisi lebih banyak negara Timur Tengah belum bisa meredakan konflik. Dibutuhkan kekuatan lintas negara, agama, dan ideologi untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel,” pungkas KH. Khariri.