Jakarta – Peringatan Isra Miraj yang dibungkus dalam sebuah acara akbar bertema “Metamorfoshow: It’s Time to be Ummah” digelar di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) beberapa hari lalu. Sekitar 1.200 anak muda menghadiri acara itu. Diduga, acara itu menjadi sarana bagi organisasi terlarang HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) untuk mendulang dukungan dan kaderisasi generasi muda Indonesia.
Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PBNU, M. Najih Arromadloni, mengungkapkan
“Terselenggaranya acara Metamorfoshow kemarin menunjukkan bahwa HTI mampu mengemas pendekatannya terhadap masyarakat Indonesia dengan kemasan yang lebih menarik dibandingkan sebelumnya. Saya kira ini menjadi kewajiban semua pihak untuk memberikan kontranarasi dan menjelaskan persoalannya kepada publik,” ungkap Gus Najih, panggilan karibnya, Selasa (27/2/2024).
Dirinya menegaskan bahwa para akademisi, santri, tokoh agama, memiliki kewajiban yang sama untuk menjelaskan kepada masyarakat akan bahayanya propaganda khilafah. Seruan penegakan khilafah itu tidak lebih dari kampanye politik, dan bukan kewajiban agama seperti yang diserukan oleh kelompok radikal.
“Perlu dipahami jika dalam ajaran agama, perintah mendirikan khilafah itu sebenarnya tidak ada. Adapun terminologi ‘khilafah’ yang tertulis dalam kitab para ulama terdahulu, sejatinya sudah terwakili dalam model pemerintahan yang ada saat ini. Tugas penting berikutnya terletak pada kesiapan aparat penegak hukum dalam melindungi jalannya NKRI,” terang Gus Najih.
Penulis buku “Tafsir Kebangsaan” dan “Bid’ah Ideologi ISIS” ini menambahkan apabila suatu organisasi telah dilarang oleh Pemerintah, seperti HTI, maka seharusnya segala penggunaan simbol atau atribut organisasi yang demikian secara otomatis juga dilarang.
Sayangnya, lanjut Gus Najih, dalam acara Metamorfoshow, bisa dilihat jika ada beberapa bendera HTI yang dikibarkan dan bahkan figur penting HTI seperti Ismail Yusanto juga terlihat menghadiri acara tersebut. Bahkan sudah ada beberapa ormas seperti Komunitas Tionghoa Anti Diskriminasi (KTAD) dan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) yang membuat laporan kepolisian untuk memperkarakan acara tersebut.
“Sekarang pertanyaannya tinggal apakah aparat penegak hukum mau bekerja atau tidak. Selama aparat penegak hukum tidak bekerja dengan efektif, maka penindakan gerakan atau organisasi radikal akan menjadi susah, karena kontra narasi saja itu tidak cukup,” kata Gus Najih.
Menurutnya, hal lain yang juga tidak kalah penting adalah kinerja Pemerintah melalui Kemenkominfo untuk melakukan penarikan konten-konten radikal yang sebenarnya bertujuan melemahkan citra negara di mata rakyatnya. Dengan demikian, stabilitas persepsi publik bisa dicapai dan masyarakat tidak perlu diresahkan dengan isu-isu yang tidak produktif.
Gus Najih mengingatkan, walaupun secara resmi HTI memang sudah dibubarkan, tapi channel-channel YouTube serta akun-akun media sosial mereka masih terus aktif memprovokasi dan melakukan agitasi pada masyarakat. HTI dan segala turunannya masih aktif menyuarakan kegiatan yang berpotensi melawan hukum dan mengandung kekerasan.
“Oleh karena itu, selain kontra narasi yang perlu digaungkan oleh semua pihak, Pemerintah juga harus melakukan langkah konkret melalui aparatnya, termasuk Kepolisian dan Kemenkominfo untuk mereduksi hingga menghilangkan segala kegiatan dan konten bermuatan propaganda HTI,” tambahnya.
Gus Najih berharap agar masyarakat tidak lengah dengan pergerakan kelompok radikal seperti HTI. Pasalnya, mereka selalu berusaha menemukan cara baru untuk mendukung propagandanya. Gerakan radikal yang identik menjauhi budaya dan kearifan lokal, kini justru menggunakan konser musik dan stand-up comedy untuk menarik minat masyarakat secara luas.
Gus Najih berharap agar semangat kelompok moderat dan yang pro terhadap kebhinekaan untuk memerangi propaganda khilafah, bisa menggunakan teknik yang lebih beragam. Diferensiasi dalam melakukan pendekatan terhadap masyarakat bisa menjadi cara yang ampuh untuk menangkal radikalisme.
“Dalam hal menarik minat masyarakat, terkadang kelompok moderat belum bisa mengimbangi, padahal ada urgensi bagi kelompok moderat untuk juga masuk dalam segmen sebaran konten yang sama. Kelompok moderat selayaknya tidak hanya menggunakan cara yang tradisional atau konvensional, tapi juga bisa masuk ke dalam segmen-segmen yang memang menjadi kegemaran generasi muda,” pungkas Gus Najih.