Jakarta – Gegap gempita masyarakat dalam menyambut tahun politik 2018-2019 telah mulai terasa dengan dimulai Pilkada serentak pada 2018. Dari 34 provinsi 17 di antaranya akan menggelar Pilkada, diikuti 39 kota dan 115 kabupaten. Patut mendapat perhatian Pilpres 2019 masih akan rentan berkembang isu sepeutar Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA).
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengungkapkan bahwa isu SARA dapat ‘meledakkan’ panggung politik manakala dikaitkan dengan isu sensitif lainya. Di ranah ekonomi, tidak menutup kemungkinan isu terkait pemerataan pembangunan dan daya beli masyarakat menjadi hal yang sensitif untuk ditunggangi SARA.
“Biasanya selalu ada dua isu yang melekat begitu. Polannya masih akan tetap sama di Pilpres 2019,” ungkap Yunarto di Jakarta pada Rabu (17/1/2018).
Dikutip dari laman www.tirto.id Yunarto mengatakan, isu SARA masih senjata mutakhir dalam panggung politik tanah air. Meskipun publik masih mempunyai tokoh yang dipercaya.
“Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu sudah mendekonstruksi antara kepercayaan publik dengan elektabilitas,” ujarnya.
Menurut Yunarto, pemetaan psikologis pemilih tidak hanya disandarkan pada kapabilitas kinerja, namun pemilih cenderung memiliki unsur emosional terhadap sosok calon pemimpin.
“Ada pandangan katanya dia komunis, ibunya terlibat ini dan itu dan lain-lain. Ini yang sedang terjadi. Ada sisi emosional yang yang jadi landasan perang politik, dan terbukti merubah konstelasi dan merubah kepercayaan publik,” tandas Yunarto.
Di tengah semakin berkembangnya arus media komunikasi dan media sosial yang semakin memudahkan isu SARA akan tetap menjadi senjata dalam upaya mencapai tujuan politik, meskipun negara maju sekalipun terlebih dengan negara Indonesia yang majemuk, mempunyai beragam agama, suku, ras dan adat istiadat budaya.
Yunarto melanjutkan masyarakat sebagai penikmat media selayaknya menelaah kabar berita dengan terbuka, karena media menampilkan beragam perspektif. Menurut surveinya, pembaca media 70 persennya hanya membaca judul berita saja, sehingga masih sangat potensial isu SARA akan dimainkan pada Pilpres mendatang.
“Pertimbangan penafsirannya beda sekarang. Presentase penduduk menurut ada datanya, tapi bisa menafsirkan dalam politik beda, kaca mata yang digunakan beda,” tandasnya.
Sementara itu, ia mengungkapkan bahwa sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah yang paling emosional dan kental mengandung isu SARA, yang mana bergulir sejak masa pemilihan.
“Ada pandangan katanya dia komunis, ibunya terlibat ini, Jokowi bukan Islam. Jokowi dari awal udah diserang dari SARA, jadi kemungkinan ketika Jokowi mencalonkan presiden lagi ia akan tetap diserang dengan isu SARA,” ungkapnya.
Emosionalitas publik, ia melanjutkan, muncul karena status Jokowi yang bukan berasal dari dinasti politik tertentu. Bahkan sebelumnya ada anggapan bahwa Jokowi adalah pelayan partai. Dengan citra yang sederhana merakyat, banyak masyarakat memiliki ekspektasi tinggi.
Emosional publik pun tercermin dengan masih kuatnya gap antara kubu Jokowi dengan kubu Prabowo Subianto.
“Apa pun kebijakan Jokowi, kubu pembela Prabowo sangat menentang, mungkin kalau prabowo yang menjabat juga sama saja. Karena ada high expectation sejak awal pemilihan,” kata dia.