Waspada Kelompok Teroris Kini Jadikan Perempuan Bukan Hanya Korban, Tapi Jadi Pelaku Teror

Waspada Kelompok Teroris Kini Jadikan Perempuan Bukan Hanya Korban, Tapi Jadi Pelaku Teror

Padang – Kelompok teroris kini mulai menjadikan perempuan bukan hanya sebagai korban, melainkan juga pelaku aksi teror. Karena kaum perempuan harus memiliki imunitas agar mampu membentengi diri dan keluarga dari paparan paham radikal terorisme.

“Kalau dulu perempuan menjadi obyek, sekarang mereka dijadikan subyek, bahkan pelaku,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof. Dr. Irfan Idris, M.A., kegiatan Dialog Kebangsaan Bersama Ormas dan Tokoh Perempuan Dalam Rangka Meningkatkan Toleransi dan Moderasi Beragama di Asrama Haji Padang, Sumatera Barat, Rabu (8/10/2025). Kegiatan ini digelar sebagai hasil kolaborasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Komisi XIII DPR RI.

Menurut Irfan, perubahan pola ini mulai tampak sejak peristiwa bom Surabaya tahun 2018, ketika Dita bersama empat anak mereka melakukan aksi bom bunuh diri di tiga rumah ibadah. Kasus serupa juga terjadi dalam bom Sibolga, ketika istri Abu Hamzah meledakkan diri bersama anak di kandungan, serta dalam aksi-aksi teror berikutnya seperti di Makassar, Mabes Polri, dan Istana Negara.

“Ini keberhasilan teroris yang harus kita bendung dengan pencerahan seperti ini,” tegasnya.

Prof. Irfan menjelaskan bahwa akar penyebab terorisme hanya satu, yaitu ideologi transnasional khilafah yang ingin mengganti dasar negara Indonesia dengan sistem negara agama. Padahal, kata dia, Indonesia sudah final dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang menghormati enam agama yang diakui konstitusi.

“Indonesia bukan negara agama. Kita sudah selesai dengan urusan ideologi. Pancasila sudah menjadi jalan tengah yang menyatukan perbedaan,” jelasnya.

Ia menegaskan, terorisme adalah kejahatan kemanusiaan luar biasa yang sering bersembunyi di balik tafsir sempit ajaran agama. Semua agama, lanjutnya, mengajarkan cinta kasih dan kedamaian, bukan kebencian.

“Agama mengajarkan rahmatan lil alamin, bukan laknatan lil alamin. Tuhan menciptakan keberagaman agar kita belajar menghormati perbedaan, bukan memusnahkannya,” kata Irfan.

Dalam pandangan Irfan, perempuan memegang peran strategis dalam membangun ketahanan keluarga terhadap paparan radikalisme. Ia mengutip pepatah klasik: “Al-ummu madrasatul ula” – ibu adalah sekolah pertama bagi tegaknya bangsa.

“Ibu adalah benteng pertama dari ideologi kebangsaan. Kalau ibu-ibu paham nilai kebangsaan dan moderasi beragama, maka anak-anaknya akan tumbuh menjadi generasi cinta damai,” ujarnya.

Ia menambahkan, banyak orang yang terpapar paham ekstrem justru karena gagal paham terhadap ajaran agama, atau merasa kecewa dan tidak adil secara sosial. Karena itu, penguatan literasi kebangsaan dan keagamaan menjadi penting, terutama bagi keluarga dan komunitas perempuan.

Prof. Irfan juga mengajak masyarakat untuk menjadi agent of change dengan melawan narasi kebencian melalui narasi kearifan lokal, nilai-nilai Pancasila, dan ajaran agama yang penuh kasih. “Kita lawan narasi kebencian dengan narasi kearifan lokal. Kita duduk bersama bukan untuk menyeragamkan, tapi untuk menghormati perbedaan. Karena moderasi beragama itu sejatinya sudah ada dalam praktik beragama yang tengah-tengah,” tutupnya.