Jakarta – Pemilihan Umum (Pemilu) telah dilaksanakan pada 14 Februari
lalu. Dinamika politik dan panasnya persaingan pada pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden (Pilpres) mengisi setiap sudut ruang publik,
khususnya ruang digital. Pelaksanaan pemilu damai menjadi tanggung
jawab semua pihak, terutama generasi muda.
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Worry Mambusy
Manoby, mengatakan masyarakat selalu mengharapkan pelaksanaan pemilu
yang damai, aman, dan tertib. Tanpa diwarnai kekisruhan dan konflik
politik berkepanjangan.
Menurut Worry, ketegangan dalam kontestasi politik, terutama pada
Pilpres, jangan sampai dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab, terutama kelompok-kelompok radikal.
“Saat pemilu adalah periode yang penting untuk mewaspadai gerakan
radikalisme yang dapat mengancam stabilitas politik dan nasional,”
kata Worry, Minggu (18/2/2024).
Setiap waktu, ruang digitaldiisi ujaran kebencian dan hoaks. Maka dari
itu, generasi muda, khususnya milenial dan Gen Z, yang hampir setiap
saat mengakses media sosial harus tetap kritis agar tidak terpengaruh
paham radikalisme.
Generasi muda harus bersatu bersama-sama mencegah penyebaran
radikalisme di masa pemilu ini. “Karena perbedaan pendapat yang
berlebihan, perasaan tidak puas, apabila terus-menerus ditampilkan
bisa menimbulkan intoleransi dan memicu tindakan radikalisme,” ucap
Worry.
Di sisi lain, Worry juga berharap sejumlah pihak seperti Tentara
Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia
(POLRI), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk terus meningkatkan kewaspadaan
terhadap potensi penyebaran ideologi radikal, terutama pada masa
Pemilu seperti sekarang ini.
“Sejauh ini, TNI, POLRI, BIN, dan BNPT sudah melakukan berbagai
langkah untuk memberikan rasa aman di tengah-tengah masyarakat dengan
menekan penyebaran paham radikalisme. Ini perlu untuk terus
dilakukan,” ujar Worry.
Sebelumnya, Kepala BNPT, Rycko Amelza Dahniel, menegaskan sasaran
kelompok radikalisme adalah menjadikan generasi muda intoleran.
“Yang disasar generasi muda. Yang dihancurkan pertama kali adalah
sifat, sikap dan pandangan toleransinya. Lalu nantinya diajarkan
kebencian, kekerasan, kekejian dan kebiadaban, pakai bungkus agama,”
kata dia dalam acara silaturahmi dengan Forum Koordinasi Pencegahan
Terorisme (FKPT) dan Duta Damai Jawa Barat, di Bandung, Jumat
(2/2/2024).
Menurut Rycko, proses penyebaran ideologi ini menyasar pada keyakinan
generasi muda dengan diperkuat oleh narasi-narasi perintah agama.
“Ideologi ini membuat orang menjadi yakin bahwa apa yang dilakukan itu
merupakan perintah agama,” ucapnya.