Di tengah meriahnya perayaan Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke 70, kami membaca tautan dalam twiter NU Garis Keras yang menampilkan gambar pin bendera merah putih yang bertuliskan lafadz ‘La Ilaha Illaa Allah‘ di atas bendera warnah merah, dan lafadz ‘Muhammadan Rasulullah‘ di atas bendera warna putih. Di atas gambar bendera merah putih tersebut ditulis judul besar “Ini bendera teroris?!.” Kemudian dijelaskan dengan anak kalimat di bawahnya, “Ini adalah PIN Laskar Hizbullah BKR (Barisan Keamanan Rakyat)/ TKR (Tentara Keamanan Rakyat) cikal bakal ABRI TNI POLRI. PIN ini sekarang tersimpan di musium KNIL Belanda – setelah fakta ini, masihkah ada orang yang masih menganggap bendera Tauhid (bendera Rasulullah) sebagai bendera teroris?,” demikian penjelasan pendek tersebut berbunyi.
Dalam rangka melakukan analisa secara seksama terhadap gambar bendera merah putih dengan lafadz suci tersebut, termasuk pula beberapa penjelasan dalam kalimat pendek yang ada di situ, maka perlu dilakukan cross-chek tentang benar tidaknya fakta dan penjelasannya. Termasuk mengetahui siapa yang membuat PIN tersebut? apakah benar PIN tersebut ada di musium KNIL Belanda? apakah benar itu adalah PIN laskar Hizbullah BKR dan TKR? Dst.
Pada satu sisi, PIN yang dianggap kepunyaan Laskar Hizbullah BKR dan TKR tersebut membawa pesan patriotisme bagi perjuangan laskar Hizbullah BKR dan TKR di masa lalu. Perpaduan antara warna merah putih dengan lafadz tauhid mengidikasikan bahwa mempertahankan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia merupakan jihad fi sabilillah, karena pada saat itu, negara republik Indonesia sedang menghadapi penjajahan.
Jihad yang dilakukan dalam mepertahankan negara dari serangan penjajah merupakan jihad yang diwajibkan dalam Islam; musuhnya jelas dan tujuan utamanya adalah mempertahankan kehormatan negara dari serangan penjajah. Nahdatul Ulama pun bahkan mengeluarkan tiga resolusi jihad saat itu, yakni setiap muslim, tua, muda, dan miskin sekalipun, wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Pejuang yang mati dalam membela kemerdekaan Indonesia layak dianggap syuhada, sementara warga yang memihak kepada Belanda dianggap sebagai pemecah belah persatuan, dan oleh karena itu harus dihukum mati.
Pada sisi lain, eksistensi PIN tersebut menegaskan bahwa lafadz tauhid sama sekali bukan lafadz yang mudah dipermainkan, apalagi sampai dianggap sebagai bendera teroris. Para pejuang kemerdekaan meyakini bahwa di bawah kibaran bendera merah putih dan tulisan lafadz tauhid, semangat jihad akan membuncah mengalahkan gempuran para penjajah Belanda.
Namun demikian, kini perlu dipahami bersama bahwa meraih kemerdekaan itu penting, akan tetapi mengisi kemerdekaan jauh lebih penting. Karena seluruh lapisan masyarakat harus merasakan bahwa bangsa Indonesia telah merdeka secara total dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya merdeka dari penjajah secara fisik, namun juga merdeka di banyak sendi kehidupan.
Hal ini tentu tidak berlebihan mengingat bahwa samapi saat ini masih ada banyak dari kita yang belum merasa merdeka dari segi ekonomi, dimana angka kemiskinan masih tinggi. Dari segi politik, ada banyak pula masyarakat yang kecewa karena merasa hanya menjadi pelengkap penderita. Sementara dari segi sosial, mulai banyak masyarakat yang semakin cuek dan terbenam dalam gayab hidup yang individualistik.
Inilah tantang terbesar yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, dimana musuh terbesarnya adalah kebodohan, keterbelakangan, ketergantungan dan kemiskinan.
Karenanya, munculnya tautan di media sosial kita terkait dengan gambar PIN bendera merah putih yang beruliskan lafadz tauhid harus mendapat perhatian utama, karena jika tidak disikapi dengan bijak hal itu berpotensi memunculkan kesalahpahaman di banyak orang, terutama yang tidak memahami sejarah perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan baik, terutama kelompok yang timbul tenggelam dalam gelombang sejarah Indonesia, mereka adalah kelompok yang selalu berharap pemberlakukan Negara Islam Indonesia.
Meskipun tautan tersebut dire-tweet oleh akun yang menggunakan nama NU, namun Nahdatul Ulama tentu tidak akan merestui munculnya kelompok yang ingin mengganti falsafah negara Pancasila dengan ideologi lain. Bila disimak lebih dekat, kalimat “masihkah ada orang yang masih menganggap bendera Tauhid (bendera Rasulullah) sebagai bendera teroris?” mungkin tidak membutuhkan jawaban secara lisan, tetapi lebih dalam dari itu, jawaban yang diharapkan adalah tekad yang bulat untuk menegakkan ‘panji ilahi’ yang menggunakan lafadz tauhid. Padahal jelas bahwa mereka bukan bagian dari panji ilahi, karena mereka terlalu sering membuat murka Allah SWT; mereka menjungkir-balikkan panji ilahi dengan melakukan pembantaian yang sangat biadab namun memekik kalimat “Allahu Akbar”, tentu pekikan tersebut tidak bermakna “Allah yang Maha Besar” di tangan mereka, karena jelas terlihat bahwa yang “besar” adalah nafsu kebenciannya.
Kejadian ‘kecil’ ini harus pula menjadi alarm bagi bangsa Indonesia untuk segera memiliki aturan yang melindungi lambang negara, Pancasila dan konsensus dasar bernegara dan berbangsa. Harapannya agar tidak ada lagi celah bagi oknum masyarakat, baik secara pribadi maupun berkelompok, untuk menentang lambang negara. Seperti menyebar pandangan tidak berdasar yang menyatakan bahwa menyakini Pancasila merupakan perbuatan Syirik. Aturan tersebut harus pula mencantumkan konsekuensi hukum (sanksi) bagi siapapun yang menolak Pancasila dan lambang negara lainnya, termasuk bendera merah putih.