Yogyakarta – Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Muhammad Najib Azca, menyoroti keberagaman gerakan radikalisme di Indonesia, menyebutnya memiliki tiga varian yang berbeda.
Pernyataan ini disampaikan dalam Seminar Nasional “Baya Laten Radikalisme Agama bagi Generasi Milenial Muslim” di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) An Nur Yogyakarta pada Kamis (9/11).
Menurut Najib, hasil penelitiannya mengidentifikasi tiga varian radikalisme, yaitu jihadisme, vigilantisme, dan syariatisme. Dalam keterangan kepada peserta seminar, Najib menjelaskan bahwa ketiga varian tersebut memiliki kecenderungan dan pandangan yang berbeda.
“Bicara radikalisme ini memang tidak sederhana. Ada tiga varian radikalisme yang bisa kita diskusikan: jihadis, vigilantis, dan syariatis,” ungkap Najib, yang juga merupakan dosen Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM).
Najib menjelaskan bahwa jihadisme terkait dengan kelompok yang meyakini bahwa masyarakat muslim sedang dalam kondisi perang dengan orang kafir. Dalam pandangan mereka, tindakan membunuh dianggap lumrah karena dianggap sebagai bagian dari perang. “Kelompok ini diwakili oleh JI, JAD, MIT, DI, dan lain sebagainya. Banyak modelnya memang,” tambahnya.
Selanjutnya, varian vigilantisme merujuk pada kelompok yang percaya bahwa masyarakat muslim hidup di bawah sistem politik yang tidak Islami. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa perlu memperjuangkan agar tata sosial-politik bisa Islami.
Sementara varian syariatisme, menurut Najib, memiliki pandangan serupa dengan vigilantisme, yaitu perlu mengubah sistem politik di Indonesia menjadi Islami. Namun, syariatisme menggunakan pendekatan yang lebih halus, seperti melalui politik dan dakwah.
“Bila vigilantisme tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan, syariatisme lebih nyaman dengan jalur yang halus, seperti melalui politik dan dakwah,” kata Najib.