Jakarta – Wakil Ketua DPR RI Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Azis Syamsuddin, mendukung wacana meredefinisikan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua menjadi kelompok terorisme internasional.
Wacana tersebut mengacu pada pasal 1 ayat 2 dalam UU Nomor 5 Tahun 2018. Terorisme didefinisikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas. Kemudian, dapat menimbulkan korban yang bersifat massal.
Menurutnya, terorisme didefinisikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas. Kemudian, dapat menimbulkan korban yang bersifat massal.
“Karena statusnya akan definitif, dan payung hukumnya pun akan lebih kokoh dari pada status kelompok kriminal biasa,” ujar Azis dalam keterangannya, Selasa (16/2).
Azis mengungkapkan, sepanjang tahun 2020, telah terjadi 46 aksi kekerasan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, 9 orang di antaranya meninggal dunia, terdiri dari 5 warga sipil dan 4 aparat keamanan. Belakangan, aksi penembakan kembali marak dengan korban jiwa dari aparat keamanan.
Polri menyebut mereka sebagai KKB. Istilah tersebut mendefinisikan masalah keamanan di Papua disebabkan adanya organisasi yang melanggar hukum pidana atau kriminal dengan memiliki dan menggunakan senjata secara ilegal.
Artinya, lanjut dia, anggota OPM disamakan dengan preman pasar, begal motor, perampok bank, dan penjahat lain yang memakai senjata tajam dan senjata api dalam melakukan aksinya.
Untuk tahun 2019, sudah puluhan prajurit TNI yang gugur di Papua, dibunuh oleh gerombolan bersenjata tersebut. Sedangkan, pada Desember 2018, OPM membantai 31 pekerja pembangunan jalan Trans Papua. OPM juga menembaki pesawat pengangkut personel Brimob dan warga sipil.
Beberapa pekerja Trans-Papua dan personel aparat keamanan juga diserang sepanjang tahun 2016-2017. Bahkan, tahun 2017, seribu orang lebih di Kampung Kimbely dan Banti, Mimika, pernah disandera, kemudian dibebaskan oleh aparat TNI dan Polri. OPM juga membunuh tukang ojek, petugas kesehatan, bahkan memperkosa guru.
Selain itu, OPM kerap menganiaya dan membunuh warga asli Papua yang tidak mendukung aksinya serta mengintimidasi pejabat Pemda dan memaksa mendukung aksinya, bahkan mewajibkan menyerahkan dana desa.
Menurut Azis, penyelesaian OPM sebaiknya dilakukan komprehensif. Secara taktis-operasional, TNI dan Polri segera menghancurkan dan menetralisasi para penyerang. Mereka yang tertangkap dipidanakan dengan perbuatan makar. Pemerintah juga perlu mendefinisikan OPM sebagai organisasi teroris sesuai UU Nomor 5 Tahun 2018 dan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Terorisme.
“Dalam kerangka ini, meredefinisi identitas kelompok kriminal bersenjata Papua menjadi kelompok teroris, akan secara otomatis mengunci kemungkinan lahirnya dukungan masyarakat internasional atas gerakan mereka,” ujarnya.