Virus Radikalisme Akibat Kasus Intoleransi Meningkat

JAKARTA – Sepanjang tahun 2017 kasus intoleransi beragama meningkat tajam. Berbagai pelanggaran terjadi dikarenakan berbagai isu yang mengatasnamakan agama. Berdasarkan laporan Setara Institute setidaknya, 155 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di 29 provinsi di Indonesia.

Selain yang terjadi pada tahun 2017, tahun 2018 juga terdapat beberapa pelanggaran kebebasan beragama. Antara lain pembubaran kegiatan bakti sosial Gereja Katolik St Paulus Pringgplayan, Bantul, Yogyakarta, pengusiran seorang biksu di Tangerang, Banten dan penyerangan di Gereja Katolik St. Lidwina, Trihanggo, Sleman.

Yang perlu dicermati dari beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama seperti yang telah dirilis Setara Institut kebanyakan dilakukan oleh pemuda yang terindikasi berpaham radikal.

Dikutip dari laman okezone.com, mantan teroris Sofyan Tsauri mengatakan, masalah radikalisme sangat berkaitan dengan situasi global saat ini. Menurutnya beberapa kasus terorisme di Indonesia tidak secara tiba-tiba muncul tetapi merupakan efek dari situasi global.

“Contoh kasus terbaru adalah konflik Ambon dan Poso, di mana pelaku terorisme di Indonesia merupakan alumni dari konflik-konflik komunal dan sosial. Maka di situlah saya rasa terpapar dengan pemikiran radikal, kemudian benci dengan situasi dan kondisi global, kondisi di Indonesia,” kata Sofyan dalam diskusi di Universitas Paramadina yang bekerja sama dengan Yayasan Jalin Perdamaian dan Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri, Jakarta, Selasa (27/3/2018).

Chairman Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC), Pipip A Rifai Hasan mengatakan, kondisi internasional juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan terorisme atau paham radikal.

“Upaya untuk mengalahkan terorisme dilakukan secara berlebihan sebagai contoh invasi ke Irak. Secara ideologi Saddam Husein adalah sekuler, sangat berbeda dengan terorisme. George Bush menggunakan, memanfatkan isu terorisme untuk kepentingan masyarakat Amerika terkait eksplorasi minyak. Akhirnya terbentuk kelompok bersenjata ISIS,” tutur dia.

Pakar Antropologi Tobat Phil Suratno menuturkan, terjadinya aksi terorisme dikarenakan adanya faktor prasituasi dan kondisi, Ideologi pemberontak seperti HTI, khalifah dan kekerasan politik.

“Beberapa prakondisi yang harus dilaksanakan untuk mencegah aksi radikalisme yakni rekonsiliasi tokoh, pemerintah dan ulama karena ada hak-hak muslim yang belum terakomodir atau terabaikan. LSM dan Pemerintah perlu memberi pencerahan lewat media, kepolisian melalui revolusi mental atau pendidikan karakter,” tutup Suratno.