UU Baru Inggris Bisa Penjarakan Orang yang Klik Propaganda Teroris di Media Online

London – Inggris sudah punya undang-undang baru yang bisa menjerat siapa saja yang melihat dan mengklik propaganda teroris secara sepintas melalui media online.

Dengan undang-undang tersebut, setiap orang yang mengklik propaganda teroris di situs online terancam bisa dipenjara hingga 15 tahun.

Kebijakan ini sudah memicu keprihatinan hak asasi manusia. Anggota parlemen Inggris juga mendesak pemerintah agar membatalkan rencana mengkriminalisasi orang yang melakukan perbuatan melihat informasi propaganda teroris.

Perbuatan tersebut termasuk secara fisik mengumpulkan, mengunduh, atau menyebarkan materi ilegal.

Inspektur Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menuduh pemerintah Inggris sudah menyimpang ke arah ‘kejahatan yang dipikirkan atau pikiran ilegal’ dengan kebijakan tersebut.

Pasalnya, kebijakan itu awalnya menyatakan bahwa orang harus mengakses propaganda pada tiga kali kesempatan atau lebih untuk dikatakan melakukan pelanggaran teror.

Baca juga : Jadi Ketua Uni Afrika, Abdel Fattah el-Sisi Janji Fokus Perangi Teroris

Akan tetapi, tolok ukur tersebut dihapus dari rancangan undang-undang (RUU). Ini berarti, satu kali klik pun kini dikatakan ilegal.

Kendati begitu, ada pengecualian bagi beberapa profesi dalam mengakses propaganda teroris, seperti jurnalis, peneliti akademis, atau orang-orang yang tidak memiliki alasan untuk percaya.

Para pejabat keamanan mengatakan kepada The Independent, kebijakan itu akan diterapkan dan hukum tersebut akan membantu menuntut para ekstremis dalam kasus-kasus di mana pelanggaran tidak dapat dibuktikan, atau untuk mencegah radikalisasi.

Sebuah laporan yang disediakan Komite Bersama Hak Asasi Manusia mengatakan, pelanggaran itu dinilai sebagai pelanggaran terhadap hak untuk menerima informasi dan berisiko mengkriminalkan upaya penelitian yang logis dan bentuk keingintahuan.

Mantan peninjau independen Undang-undang Terorisme dan Direktur Penuntutan Publik, Max Hill QC, mengatakan kepada komite tersebut, bahwa tahun lalu ia menemukan hukuman penjara yang lama yang sulit untuk disetujui ketika tidak ada yang bisa dilakukan dengan materi tersebut.

Undang-undang baru tersebut diperkenalkan sebagai bagian dari Undang-undang Anti-Terorisme dan Keamanan Perbatasan. Undang-undang itu menerima persetujuan kerajaan pekan ini.

Undang-undang itu membuat pernyataan yang dinilai sembrono, seperti halnya apakah seseorang akan didorong untuk mendukung kelompok terlarang ilegal, dan memasuki wilayah-wilayah di luar negeri yang telah dirancang.

Area-area tersebut akan ditentukan oleh pemerintah. Selain itu, area tersebut diperkirakan akan mencakup wilayah yang dikuasai kelompok teroris dan merupakan zona perang.

Bulan lalu, Menteri Keamanan Inggris, Ben Wallace, mengatakan kepada para anggota parlemen Inggris bahwa undang-undang tersebut akan membantu menuntut para pejuang asing.

Namun, RUU itu tidak dapat diterapkan secara retrospektif (berhubungan dengan waktu dahulu) terhadap ratusan pendukung ISIS yang telah kembali ke Inggris.

Ia mengatakan, bahwa Inggris berjuang di Barat untuk menghadapi ancaman yang muncul dari para pejuang asing lantaran area aman dari negara gagal menjadi rutin.

“Anggota di kedua pihak di lembaga legislatif benar-benar marah ketika pejuang asing kembali dan kita tidak bisa menuntut mereka, karena mengumpulkan bukti pelanggaran yang lebih dalam dan lebih kompleks itu sangat menantang,” kata Wallace, dilansir di The Independent, Rabu (13/2).

RUU tersebut mengecualikan orang-orang yang masih berada di area-area tersebut tanpa sadar. Karena itulah, RUU itu tidak dapat diterapkan pada anggota ISIS inggris yang ditangkap di Suriah.

Bulan lalu, pemerintah menerima amandemen untuk membuat pengecualian khusus, termasuk pekerjaan kemanusiaan, jurnalisme dan pemakaman.

Direktur advokasi di Liberty, Corey Stoughton, mengatakan meskipun serangkaian amandemen dilakukan oleh kampanye bersama,  tindakan ini tetap menjadi ancaman besar bagi hak asasi manusia.

“Ini tidak seharusnya menambah rakit undang-undang anti-terorisme yang ada, memperkenalkan hukuman yang keras untuk pelanggaran yang tidak jelas terkait dengan bepergian ke luar negeri dan menelusuri internet. Itu berisiko menahan perbedaan pendapat dan menjadikan kejahatan pemikiran (though crime) sebagai kenyataan,” papar Stoughton.

Teroris yang dihukum akan diminta untuk memberikan informasi tambahan kepada polisi sejalan dengan pelanggar seks yang terdaftar. Undang-undang tersebut juga mencakup kekuatan baru untuk menahan orang-orang yang dicurigai sebagai kegiatan negara yang bermusuhan di pelabuhan dan perbatasan.

Menteri Dalam Negeri Inggris, Sajid Javid, mengatakan serangan teror pada 2017 dan peristiwa keracunan Salisbury menunjukkan ancaman yang dimunculkan untuk Inggris oleh teroris dan negara musuh.

Ia mengatakan, Undang-undang Antiterorisme dan Keamanan Perbatasan akan memberikan polisi kekuatan untuk menggagalkan rencana dan menghukum mereka yang berusaha untuk melukai warga Inggris.

“Menjaga orang tetap aman adalah pekerjaan nomor satu saya dan undang-undang penting ini akan membantu melakukannya,” pungkasnya.