Manila – Kementerian Luar Negeri Filipina membela undang-undang atau UU anti-terorisme yang baru dihadapan Kongres Amerika Serikat lewat pernyataan tertulis. Ini menanggapi kekhawatiran dari sejumlah anggota Kongres AS soal pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kebebasan berekspresi warga Filipina jika UU baru itu diterapkan.
“Filipina tetap berkomitmen melindungi kebebasan sipil dan politik juga Hak Asasi Manusia,” begitu pernyataan kantor kedubes Filipina di Washington seperti dilansir Reuters, Sabtu (18/7/2020).
Surat itu bertanggal 16 Juli 2020 dan ditujukan kepada 50 anggota Kongres. Surat ini dibuka ke publik pada Sabtu ini.
“Undang-Undang Anti-Terorisme itu sendiri menyatakan Hak Asasi Manusia bersifat absolut dan dilindungi setiap waktu,” begitu isi surat ini.
Pada awal Juli, Presiden Rodrigo Duterte menandatangani Pengesahan RUU Anti-Terorisme yang lebih keras.
Sikap Duterte ini mendapat kecaman dari publik dan kelompok advokasi HAM. Mereka menilai UU itu sebagai senjata pemerintah untuk memberangus oposisi dan menghambat kebebasan berpendapat.
Duterte mengatakan warga taat hukum tidak perlu takut karena UU ini menarget kelompok teroris dan pemberontak komunis. UU itu memberikan kewenangan kepada Duterte untuk membentuk dewan dan memilih anggotanya.
Dewan ini berkewenangan menyatakan individu dan kelompok sebagai teroris dan menahan mereka tanpa tuntutan hukum selama 24 hari.
Legislasi ini juga mengizinkan penyadapan saluran telekomunikasi pubik dan pengawasannya serta memberikan kewenangan pengadilan menjatuhkan hukuman seumur hidup bagi warga yang dinyatakan bersalah tanpa hak untuk mengajukan pembebasan dini.
Para pengacara Filipina memprotes pengesahan beleid ini di Mahkamah Agung dengan mengatakan UU ni bisa disalahgunakan untuk meredam oposisi dan demonstran damai.