Jakarta – Pemahaman radikal tak ubahnya seperti penyakit kronis yang menjangkiti penderitanya, tak peduli latar belakangnya. Moderasi beragama dipandang sebagai penawar yang ampuh dalam menghadapi penyakit ideologi ini.
Moderasi beragama dicetuskan sebagai perisai untuk mempertahankan kerukunan masyarakat Indonesia dengan keyakinan yang berbeda-beda. Saat ini, derasnya arus informasi yang ditunggangi oleh praktik intoleransi semakin menguatkan urgensi penerapan moderasi beragama di kehidupan nyata.
Staf Khusus Kementerian Agama Republik Indonesia, Dr. Muhammad Nuruzzaman, S.Ag., M.Si., menjelaskan bahwa diperlukan pemahaman beragama yang moderat agar kemajemukan Indonesia dapat terpelihara dengan baik
“Moderasi beragama menurut Kementerian Agama Republik Indonesia terkait cara pandang, sikap, dan praktik beragama. Definisi moderasi beragama sesungguhnya adalah kompetensi, cara pandang, sikap, dan praktik beragama seseorang itu moderat dan toleran terhadap perbedaan,” ujar Nuruzzaman di Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Dirinya mengatakan, moderasi beragama dapat ditunjukkan dengan beberapa indikator. Seseorang dianggap moderat jika ia memiliki empat indikator sesuai dengan rumusan moderasi beragama di Kementerian Agama. Diantaranya adalah sepakat dengan konsensus bangsa Indonesia, memiliki sikap toleran, menolak praktik kekerasan, dan akomodatif terhadap tradisi serta budaya lokal.
“Pertama, orang beragama itu dianggap moderat apabila dia beragama, tetapi tetap sepakat dengan konsensus kebangsaan kita, NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Undang-Undang Dasar 1945.”
“Kedua, dia beragama dan toleran, serta menghargai perbedaan. Tetapi definisi toleran pada moderasi beragama yang dirumuskan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia, bukan hanya menghargai perbedaan, tapi dia harus bisa mau bekerjasama dengan orang yang berbeda agama dengan dirinya.”
“Ketiga, dia beragama namun menolak cara-cara kekerasan atas nama agama.”
“Keempat, dia beragama tetapi menghargai tradisi dan budaya lokal yang ada di Indonesia, yang tentu tidak bertentangan dengan nilai dan prinsip ajaran agama itu sendiri. Jadi, empat hal inilah yang membuat orang disebut moderat dalam beragama. Faktanya, banyak orang beragama tetapi ekspresinya tidak moderat, bahkan cenderung ekstrem,” jelas Dr. Nuruzzaman
Ia juga menjelaskan tentang relevansi peranan dai atau penceramah terhadap penanaman moderasi beragama di tengah masyarakat Indonesia. Para penceramah memiliki jangkauan luas di lapisan masyarakat sehingga peranan mereka dibutuhkan untuk memelihara kerukunan bangsa.
“Dai memiliki peranan yang sangat besar. Mereka ini adalah garda terdepan di tengah masyarakat yang setiap saat selalu menyampaikan pemahaman keagaman. Maka, dai menjadi salah satu juru kampanye moderasi beragama di tengah masyarakat untuk menyampaikan bagaimana cara beragama yang rahmatan lil alamin dan moderat. Kerja sama yang dilakukan oleh BNPT dengan kementerian agama, menurut saya harus terus dilakukan sampai di tingkat kabupaten, khususnya untuk mengumpulkan para dai. Ini bertujuan agar kampanye moderasi beragama maupun kontra radikalisme yang dilakukan oleh para dai yang langsung bersentuhan dengan masyarakat itu lebih masif,” imbuhnya.
Ia juga menekankan bahwa lembaga pendidikan formal diperlukan sebagai sarana penyampaian pemahaman moderasi beragama. Selain itu, diperlukan pula suatu assessment atau pengukuran kadar kemoderatan seseorang dalam beragama, terlebih lagi jika ia adalah seorang aparatur negara.
Menurutnya asses saya sangat perlu, terlebih lagi untuk pejabat struktural. Bahkan di Kementerian Agama Republik Indonesia, salah satu syarat untuk naik jabatan adalah dia harus diukur dulu indeks moderasi beragamanya. Jangan sampai orang yang menduduki jabatan strategis, pemahaman keagamaannya itu tidak moderat. Karena dia nantinya memiliki wewenang yang tentu akan berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil. Maka salah satu penilaian untuk meningkat jabatan di Kementerian Agama, itu ada tes indeks moderasi beragama namanya berbasis CAT (Computer-Assisted Test). Hampir seluruh pegawai kementerian agama itu diminta untuk diukur moderasi beragamanya,” tambah Dr. Nuruzzaman.
Ia berharap dua arahan dari Kementerian Agama bisa dilakukan, yaitu perihal pendidikan keagamaan dan perihal kualitas kehidupan. Ketika orang-orang beragama ini telah moderat, maka kualitas kehidupan beragama di Indonesia itu lebih meningkat.
“Masing-masing umat beragama diharapkan bisa berhubungan dengan yang berbeda keyakinan dengannya secara baik, seperti yang kebanyakan telah terjadi di Indonesia. Hal ini penting bagi kita semua untuk sama-sama menerapkan dan menjaganya,” tutup Nuruzzaman.