Upaya Jaga-Jaga dari Serangan Radikalisme dan Terorisme Melaui Sekolah Damai

Upaya Jaga-Jaga dari Serangan Radikalisme dan Terorisme Melaui Sekolah Damai

Makassar – Program Sekolah Damai merupakan salah satu upaya Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam menjaga sekolah-sekolah
setingkat SLTA/MA sederajatnya dari bibit-bibit intoleransi,
kekerasan, dan bullying, yang merupakan cikal bakal dari tumbuhnya
radikalisme dan terorisme. Pasalnya, di remaja-remaja SLTA/MA
sederajatnya merupakan generasi muda yang menjadi target paparan
paham-paham kekerasan tersebut.

“Kenapa para guru dan siswa/siswi atau santri dikumpulkan dalam
Sekolah Damai? Pertama ini sebenarnya kita jaga-jaga dan melindungi
sekolah dari hal-hal yang tidak diinginkan yaitu tiga dosa besar di
satuan pendidikan yaitu intoleransi, kekerasan, dan bullying,” ujar
Staf Ahli Pencegahan BNPT Prof (HC) M Suaib Tahir, M.A.,Ph.D, saat
menjadi narasumber Sekolah Damai berupa “Pelatihan Guru Dalam Rangka
Menumbuhkan Satuan Pendidikan Dalam Rangka Menolak Intoleransi,
Kekerasan, dan Bullying” di Pondok Pesantren IMMIM, Makassar, Kamis
(7/11/2024).

Ia mengumpamakan Sekolah Damai ini seperti pasukan TNI atau Pemadam
Kebakaran yang rutin berlatih, meski tidak ada perang atau kebakaran.
Itu penting bila terjadi perang atau kebakaran, mereka sudah paham
dengan cara mengatasinya.

“Bukan karena di sekolah ada teroris, tapi langkah ini murni upaya
untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan terjadi di lingkungan
sekolah,” tuturnya.

Menurutnya, Sekolah Damai digagas BNPT karena beberapa faktor. Pertama
karena memang ada keterlibatan anak muda dalam jaringan teroris. Dan
itu terbukti dari beberapa kasus terorisme yang melibatkan anak SMA
seperti kasus Bom JW Marriot, Bom Gereja di Medan, dan penangkapan
teroris di Batu, Malang, beberapa waktu lalu.

Bahkan lanjut Suaib, di Makassar, salah satu mantan narapidana
terorisme (napiter) Suryadi Mas’ud juga terpapar terorisme sejak
bangku SMA. Suryadi Mas’ud sendiri juga hadir menjadi narasumber di
kegiatan Workshop “Pelajar Cerdas Cinta Damai” yang merupakan hari
pertama kegiatan Sekolah Damai di tempat yang sama. Ia mengaku
terpapar saat duduk di bangku SMA 1 Makassar akibat broken home dan
bergabung dengan Rohis di sekolah dan bertemu dengan guru yang
notabene perekrut teroris.
“Itu fakta-fakta yang menunjukkan ada siswa terpapar terorisme saat
SMA. Karena itu, sekolah harus jadi target Sekolah Damai agar tidak
terjadi seperti itu,” ucap pria kelahiran Pinrang yang pernah puluhan
tahun menjadi diplomat di Timur Tengah itu.

Faktor kedua, ungkap Prof Suaib, kenapa murid-murid sekolah jadi
target kelompok radikal, karena di usia-usia SMA, remaja masih stabil.
Di sisi lain kini semua orang punya aksis apa saja yang mereka
inginkan, terutama di era serba digital. Di sisi lain, mereka sangat
rentan dengan pemahaman paham-paham dari luar yang bisa mempengaruhi
pemikiran mereka.

“Sehingga kegiatan Sekolah Dama ini sangat penting untuk meningkatan
pemahaman mereka terkait wawasan kebangsaan, keagamaan. Paling tidak
kita bisa meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan mereka tentang
bahaya intoleransi, kekerasan atau ekstremisme, dan bullying,” tukas
Suaib.

Ia juga menegaskan bahwa terorisme itu tidak ada sangkut pautnya
dengan agama. Ia menerangkah bahwa sejak 1980-an sampai sekarang ini,
kelompok teroris selalu mengatasnamakan agama dalam setiap aksinya
atau disebut relijius terorisme. Itu berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya, dimana terorisme masih dilandasi kepentingan pribadi. Yang
menjadi konsen sekarang ini adalah terorisme yang ingin melakukan
perubahan konsensus negara yang dilakukan kelompok atas nama agama,”
katanya.

Pelatihan Guru ini juga menghadirkan dua narasumber lainnya yaitu
mitra deradikalisasi eks anggota ISIS Hamruddin dan psikolog Rukiana
Novianti, S.Psi., M.Psi.

Hamruddin memaparkan testimoninya sampai ia terpapar jaringan teroris.
Hal itu berawal dari keinginnya belajar ilmu agama dengan mengikuti
kajian-kajian keagamaan. Namun ia ternyata bertemu dengan ustaz-ustaz
dari kelompok teroris. Alhasil ia pun terdoktrin sehingga percaya
dengan prinsip agama yang kaku dengan hanya memahami agama Islam yaitu
hanya Alquran dan Sunnah.

“Saya menjadi anti-NKRI, anti pemerintah, semua yang berbeda saya
kafirkan. Bahkan apa yang ada di rumah salah semua, termasuk foto-foto
di rumah saya turunkan semua. Itu berlangsung lama sampai terjadi Bom
Katedral Makassar, dimana pelakunya teman kajian saya,” terang
Hamruddin.

Ia pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan ‘bersekolah’
tiga tahun di penjara. Beruntung selama ‘sekolah’ ia mendapat
pencerahan oleh BNPT dan Densus 88 sehingga sadar dan akhirnya tobat
dan berikrar setia kepada NKRI.

“Pesan saya generasi muda perlu mewaspadi radikalisme dan intoleransi,
karena itu bibit sebelum menjadi teroris,” ungkapnya.