Unflaged Terrorism: Terorisme Tidak Beragama, Tidak Pula Berbendera

Dalam banyak kajian tentang terorisme, terorisme merupakan paham kekerasan yang tidak memiliki kaitan dengan agama ataupun negara, kalaupun ada gerakan atau kelompok terorisme yang membawa-bawa nama agama atau negara, itu hanyalah kamuflase saja. Hal ini tentu sangat mudah dipahami karena kelompok teroris akan melakukan berbagai cara untuk membuat masyarakat mengira bahwa kekerasan yang mereka pamerkan selama ini ditujukan semata untuk kebaikan, seolah mereka lupa bahwa tidak pernah ada kebaikan yang bisa digapai melalui kekerasan.

Jangankan untuk mendompleng nama suatu negara atau agama tertentu, membantai jutaan orang tidak bersalah pun akan mereka lakukan hanya demi mendapatkan apa yang mereka inginkan; kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Karenanya kita harus selalu jeli agar tidak mudah terkecoh dengan tumpukan sandiwara yang sedang mereka mainkan.

Penggunaan simbol agama atau bendera, seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris selama ini, ditujukan untuk menyerang sisi psikologis manusia; dengan mengusung simbol tertentu, masyarakat –yang memiliki ikatan kuat dengan simbol tersebut– akan mengira bahwa para teroris itu adalah ‘orang sendiri’, wong kito galo (orang kita sendiri). Sehingga mereka tidak perlu dilawan, alih-alih mereka harus didukung, karena lagi-lagi, mereka orang kita sendiri.

Dalam konteks terorisme di Indonesia, simbol-simbol agama Islam paling sering digunakan oleh kelompok-kelompok pemuja kekerasan dengan maksud untuk menebar kesan bahwa mereka adalah bagian dari kita (muslim), sehingga apapun yang mereka lakukan –termasuk parade kebencian dan kekerasan—adalah murni bagian dari perjuangan membela agama. Maka tidak heran jika wajah terorisme di negeri kita ini disesaki dengan tampilan orang-orang yang mengenakan surban namun tidak alergi untuk berbuat kejahatan, sering teriak takbir tapi berlaku jahat tanpa panjang pikir.

Segala upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh negara selalu dimaknai secara serampangan sebagai usaha pemerintah untuk memusuhi agama, karenanya tidak jarang kita jumpai tebaran-tebaran hasutan yang menyatakan bahwa pemerintah kita anti agama, utamanya agama Islam. Padahal yang terjadi, pemerintah kita sedang membasmi segala bentuk kekerasan dan kejahatan, tidak terkecuali yang bersembunyi dibalik simbol agung agama. Bukan hanya agama Islam, tetapi di agama apapun kekerasan dan kejahatan itu bersembunyi, di situlah pemerintah –kita melalui para paratur negaranya– akan selalu beraksi.

Clay Routledge suatu ketika pernah menjelaskan dalam Psychology Today bahwa simbol memiliki peran yang begitu kuat, salah satunya karena simbol-simbol tersebut membantu kita dari kekhawatiran akan keadaan kita yang fana. Dalam simbol orang cenderung akan menemukan sisi-sisi aman, dalam simbol pula orang akan mudah mengira bahwa mereka mampu melakukan berbagai hal yang bahkan belum pernah mereka pikirkan, simply karena mereka mengira bahwa mereka bukan orang sembarangan (the choosen one).

Pada tingkatannya yang paling tinggi, kekuatan dari simbol mampu mengantarkan seseorang pada sikap fanatisme, mencintai simbol secara berlebihan, melebihi cintanya pada diri sendiri. Ketika seseorang sudah sampai pada tingkatan ini, maka mereka tidak akan segan untuk melakukan apapun demi melindungi dan mempertahankan keagungan dari simbol tersebut. Apalagi kalau simbol tersebut sudah dibubuhi gelar ‘suci’, gelap mata seolah sudah jadi pilihan satu-satunya dan yang utama.

Dalam kasus melawan terorisme misalnya, masyarakat kerap dikecoh untuk mengira bahwa pemerintah ‘sebenarnya’ tidak sedang membabat habis tindak kejahatan, tetapi mencoba melumpuhkan agama tuhan. Maka tidak heran jika akibat kecohan ini banyak orang yang benar-benar mengira bahwa pemerintah memusuhi agama. Padahal kita semua tahu bahwa terorisme tidak memiliki, dan bukan bagian dari, agama.

Belakangan ini mulai muncul usaha untuk menampilkan pin yang diklaim milik Laskar Hizbullah-BKR (Barisan Keamanan Rakyat) –yang bermotif merah putih dengan tulisan kalimat syahadat di atasnya—sebagai bendera Rasullah yang sepertinya dimusuhi oleh pemerintah. Terlepas dari benar tidaknya klaim tersebut, namun upaya penampilan simbol itu merupakan bukti bahwa kelompok-kelompok penggemar berat kekerasan dan kesewang-wenangan ini selalu berusaha untuk menggeser fakta seolah pemerintah sedang menghabisi agama melalui simbol-simbolnya, padahal pemerintah tidak pernah melawan agama, tidak pula melawan bendera. Sekali lagi, dimanapun ada kejahatan, di situ pula hukum akan ditegakkan.