Malang– Kajian literasi di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN Maliki Malang) menghadirkan Ulil Abshar Abdalla. Kajian ini berlangsung di Aula Microteaching gedung center of laboratorium Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) UIN Malang, Selasa (11/6/2023)
Gus Ulil, sapaan Ulil Abshar Abdalla, memaparkan tentang genealogi atau asal usul dari moderasi beragama. Pertama, genealogi atau asal usul moderasi beragama lahir di Indonesia saat ujung pemerintah SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), kemudian diteruskan Jokowi.
“Di timur tengah Washiyatul Islam, di Indonesia yang dipakai Washiyatul tadhayun (moderasi beragama), wacana moderasi beragama dihasilkan dari kompetisi, tarik ulur, kompensasi dari berbagai kelompok di Indonesia,” ujar Gus Ulil.
Menurutnya, moderasi beragama adalah kompromi politik. Jika disebut moderasi islam, maka ada islam yang tidak moderat. Konsep moderasi dalam hal itu adalah sikap beragama. “Jadi manusia yang mempraktekkan agama itu. Bukan agama, atau islamnya yang dimoderatkan,” lanjut penulis sejumlah buku tersebut.
Genealogi kedua adalah sumber ide. Moderasi beragama sebagai gagasan sebetulnya milik umat islam. Wacana ini adalah wacana umat islam, untuk menanggapi dinamika di dalam tubuh umat islam.
“Wacana partikular, cerminan dari keadaan di dalam tubuh islam sendiri. Tetapi tidak bisa dikatakan ini melulu proyeknya umat islam. Moderasi beragama saat ini juga diadakan berbagai agama di Indonesia. Hindu, Kristen, Budha juga melakukan kajian moderasi beragama. Jadi yang awalnya wacananya partikular, menjadi wacana Universal untuk semua warga Indonesia,” lanjutnya.
Wacana ini, kata Gus Ulil, punya silsilah menarik. Ada tiga sumber gagasan bagi moderasi beragama. Pertama, gagasan yang berasal dari lingkungan kiai Nahdlatul Ulama. Salah satunya rumusan tentang penerimaan NKRI sebagai bentuk negara final.
Kedua, kontribusi gagasan moderasi beragama dari lingkungan Muhammadiyah. “Salah satu gagasan penting adalah aspirasi atas kemodernan dan kemajuan. Gagasan-gagasan progresif kalangan anak muda Muhammadiyah jelas ikut membentuk wacana moderasi beragama,” tuturnya.
Sumber lain yang membentuk wacana moderasi beragama adalah gagasan pembaharuan islam yang pernah dikemukakan oleh Cak Nur (Nurcholish Majid) dan kawan-kawan. Sebagian besar intelektual yang merumuskan wacana moderasi beragama adalah sarjana-sarjana IAIN/UIN yang merupakan murid gagasan dari sosok seperti Cak Nur dkk.
“Gagasan para intelektual muslim reformis tentang Islam yang inklusif dan pluralis jelas sangat mempengaruhi rumusan moderasi beragama yang disusun oleh kawan-kawan di Kemenag,” terangnya dihadapan ratusan peserta yang hadir.
Tidak bisa juga dikesampingkan ide dari Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Gus Dur merumuskan tentang pribumisasi islam sebagai landasan penting moderasi beragama. Salah satunya menghormati kearifan lokal.
“Moderasi beragama tidak lahir dari ruang kosong. Dari genealogi itu kita melihat mixture khas Indonesia. Tidak ada di negara lain, kita melihat semacam refleksi dari Islam yang coraknya Indonesia,” pungkas Gus Ulil.
Rektor UIN Malang, Prof. Dr. HM. Zainuddin, M.A., menjelaskan bahwa moderasi beragama adalah sikap toleransi, inklusif, menolak segala tindak kekerasan dan melindungi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berkomitmen pada Pancasila sebagai dasar, ideologi negara, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.
“Empat indikator moderasi beragama. Pertama, komitmen kebangsaan dengan menerima prinsip kebangsaan yang tercantum dalam konstitusi (UUD 1945). Kedua, toleransi, menghargai perbedaan dan memberi ruang bagi orang lain untuk percaya dan mau bekerja sama. Ketiga, anti kekerasan dan menolak segala bentuk kekerasan. Dan keempat, menerima adat dan budaya lokal yang tidak bertentangan dengan konstitusi,” kata Prof Zain.