JAKARTA – Membendung radikalisasi perlu dengan mengajak peran aktif seluruh masyarakat untuk bersinergi. Keluarga dan ulama adalah bagian penting untuk memperkuat institusi pendidikan dalam melawan faham itu.
“ Kita tahu bahwa Indonesia adalah obyek subur penyebaran benih radikalisme. Jadi memperkuat institusi pendidikan untuk melawan radikalisme itu mencakup tiga hal yakni keluarga, sekolah dan masyarakat. Dimana menurut saya, akarnya adalah keluarga. Jadi untuk membendung karakter di institusi pendidikan yang anti radikal harus dimulai dari keluarga. Bahkan para Ulama juga harus bisa memberikan pengayaan dalam kapasitasnya sebagai obor masyarakat,” kata guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Asep Usman Ismail M.Ag, kepada media, Jumat (16/9/2016)
“Keluarga dan ulama adalah basis penting untuk memperkuat anti radikalisme di dunia pendidikan. Itu harus sinergi,” katanya.
Menurutnya, institusi pendidikan tidak hanya pendidikan formal seperti sekolah saja, tapi juga pendidikan non formal dan informal.
“Jadi kontribusi ulama untuk kaitan keluarga semisal adalah melalui majelis taklim, remaja masjid. Juga lewat pengajian, khotbah-khotbah, berbagai komunikasi sosial, dll. Majelis Taklim yang tidak lain adalah kaum ibu,” kata Prof Asep.
Memberi pegangan anti radikal kepada para mubaligh, ustadzah, menurut Asep caranya adalah melalui bacaan yang bisa menjadi pegangan untuk mereka yang mudah dan praktis bagi mereka melalui majelis taklim. Sebagai gambaran, para mubaligh itu rata-rata pendidikannya adalah S1 , dan ada juga S2.
“Karena itu perlu dibangun sebuah tim untuk menyusun buku panduan pendidikan anti radikal. Di majelis taklim kita tahu sendiri para ibu sangat giat dibandingkan bapak-bapak. Kalau ustadzahnya kurang bacaan, bagaimana dia menyampaikan ajaran yang benar kepada umat? Dia adalah juru bicara untuk ajaran-ajaran Islam yang benar dan harus disampaikan kepada umat. Berarti harus tersedia bacaan-bacaan yang benar dan baik, mudah dicerna, bernuansa keislaman dan bisa bisa diserap oleh para mubaligh, dari berbagai level pendidikan,” kata Asep.
Menurutnya, Kementerian Agama yang punya kewenangan soal itu belum bisa bekerja dengan optimal sehingga diperlukan sinergitas antar komponen masyarakat untuk memperkuat institusi pendidikan melawan radikalisasi. “ Jadi perlu sinergitas ormas-ormas Islam, bisa kelompok-kelompok profesional, para mubaligh dan berbagai profesi keagamaan di masyarakat . Itu yang harus diperkuat,” katanya.
“Majelis taklim sebenarnya strategis karena dia berada di ruang publik dan masuk ke wilayah jantung serta berhadapan dengan masyarakat yang rentan terhadap berbagai faham termasuk radikalisme. Jika wilayah jantung itu dibiarkan kosong, benteng pertahanannya akan jebol. Karena itu, menurut hemat saya seharusnya kita semua harus bersinergi ; negara masuk, ormas Islam masuk. Jika tidak, maka ruang kosong itu akan diambil alih oleh kelompok-kelompok radikal karena mereka sangat cepat dan jeli melihat peluang,” katanya.
Untuk itu menurutnya, penting untuk memperkuat sumber daya masyarakatnya agar bisa punya persepsi yang sama kemudian disinergikan. “Penting, karena ini masalah bangsa dan negara serta masa depan bangsa,” katanya.