(Catatan Pertemuan Kyai dan Ulama Muda Mesir di Alexanderia)
Sangat mengesankan bagi saya saat tim yang saya pimpin berkunjung ke beberapa sentra penampungan dan pendidikan pemuda dan pemudi Indonesia dan Malaysia serta beberapa negara Asia tenggara di kota Alexanderia, Mesir pada awal Maret Kemaren. Perjalanan dua setengah jam yang melelahkan kami nikmati setelah bertemu tokoh ulama Al Azhar Syeh Ala Muhammad Mustafa Naimah yang sangat muda berwibawa dan humoris. Beliau adalah murid dua ulama besar Al Azhar Syeh Muhamad Ibrahim Abdul bais al Katani, seorang ulama ahli hafis dan sufi dan Syeh Abdul Salam Ali Muhamad Sita, ahli Tasawuf dari Al Azhar Mesir.
Di kediaman yang sekaligus digunakan untuk belajar bahasa Arab dan Al Quran tersebut, tim diperkenalkan bagaimana sejarah hubungan ulama besar Al Azhar dengan Ulama Indonesia. Betapa penjelasan beliau membuat kami tertegun. Apalagi saat beliau menjelaskan kepada kami, dalam bahasa Arab yang diterjemahkan oleh pemuda pelajar Al Azhar Indonesia dan Rois PCI NU Mesir tentang Makna kehidupan dalam Alquran dan Hadist.
Beliau juga memberikan tanggapan dan anasir-anasir pandangan beliau tentang berbagai kekerasan di Mesir. Beliau menyatakan kesedihan atas pemahaman dan terjemahan yang keliru tentang makna jihad dan perang. Penulis menyimak dengan baik apa yang beliau jelaskan. Terlintas pasti dalam pikiran ternyata radikalisme yang mengatasnamakan agama yang terjadi di Indonesia telah mereduksi kebenaran dan kesucian makna yang terkandung dalam Al Quran.
Beliau mengatakan bahwa sang Pencipta saja menyayangi ciptaanNya. Binatang saja tidak boleh dibunuh sembarangan. Beliau juga mengingatkan Tim dan pemuda-pemudi Indonesia bahwa bila membahas hadis, maka pahami juga riwayat hadist, fiqih dan qiyas. Beliau mengatakan radikalisme terjadi karena sang ustad yang mengajarkan radikalisme telah membuat batasan-batasan, kanal dan guideline yang tidak boleh dilanggar oleh pengikutnya. Akibatnya orang seaqidah namun di luar ideologi kelompoknya dikategorikan sebagai kelompok murtadin. Dan orang tidak seaqidah mereka sebut kafir. Orang kafir dan murtadin adalah musuh dan boleh diperangi (qital) dan boleh dibunuh. Dan harta musuh boleh diambil sabagai amaliyah fai ghonimah.
Saat penulis bertanya tentang tanggal kelahirannya. Beliau mengatakan ulang tahun beliau sudah lewat beberapa bulan lalu. Serta merta beliau mengatakan tidak ada larangan untuk berulang tahun bagi beliau. Luar biasa. Saat itu juga beliau menyanyikan lagu Ulang Tahun versi bahasa Indonesia, walaupun beliau tidak bisa berbahasa Indonesia dengan fasih dan lengkap . Melihat kejadian itu, tentu kami tim dan pelajar Indonesia di Mesir bertepuk tangan. Lucu sekali beliau juga memperagakan bibirmya untuk meniup lilin saat kata-kata ” tiup lilinnya”. Begitupun saat potong kuenya, beliau memperagakan potong kue dengan menggosok tangan laksana sedang memotong kue.
Beliau juga memiliki sahabat dari China yang juga beliau berikan ucapan selamat tahun baru, tapi tidak bisa mengucapkan Xong Chi Fa Chai dan meminta penulis untuk mengajarkan. Maka penulis genggam dan pertemukan dua kepalan tangan dengan mengucapkan Xong Chi Fa Chai yang beliau ikuti. Beliau juga mengungkapkan bahwa NU dan Muhamadiyah adalah kumpulan sahabat-sahabat beliau. Pemikiran PCI NU dan Mahasiswa Mesir dalam bingkai kebersamaan sesuai dengan tuntutan zaman adalah sama dengan beliau.
Dalam kesempatan itu pula beliau mengajak penulis untuk saling bersuap-suapan. Awalnya tentu penulis risih. Tetapi begitu dijelaskan makna silahturahmi yang begitu dalam, bentuk respect yang luar biasa serta timbul kedekatan akhirnya penulis setuju. Disambut tepuk tangan yang riuh oleh pemuda pelajar dari SMA sampai Universitas Al Azhar Indonesia di Alexanderia. Rupanya makna rasa hormat dan respect tertinggi bagi keluarga dan kerabat terutama sahabat dekat sebagaimana muslim Mesir lakukan, yaitu apa yang mereka berikan pada penulis dengan memberikan sepotong makanan langsung dari tangan beliau.
Pada kesempatan berikutnya penulis diajak mengunjungi Pusat Pendidikan Da’i. Kami diajak mengunjungi lantai perlantai tempat pendidikan Al Azhar tersebut. Lantai pertama adalah tempat pelajaran dasar bahasa arab dan mengaji. Lantai kedua adalah untuk pendidikan dasar dan diujung lantai tempat pendidikan lanjutan. Menariknya lagi di lantai tiga kami diberi kesempatan masuk ke ruang ujian akhir Da’i senior. Persis seperti ujian doktoral. Seorang teruji dihadapkan dengan lima penguji.
Penulis sempat masuk kelas dan ujian diskors. Seorang penguji DR Mahmood menjelaskan bahwa ini ujian terakhir. Lima orang yang tampil belum tentu seorang akan lulus. Satu ruangan 50 orang paling yang lulus hanya 3 orang. Yang lulus akan menjadi Da’i profesional Al Azhar dengan tingkat kemampuan yang tidak diragukan. Mereka digaji oleh pemerintah dan mengajarkan Islam moderat pada universitas Al Azhar dan juga dunia.
Mengapa di Mesir Masih saja Mencekam?
Selama ini penanganan terorisme di Mesir masih mengedepankan konsep hard approach dengan sedikit menggunakan rezim penegakan hukum. Namun melihat perkembangan global dan ancaman riil di Mesir, pada tanggal tanggal 26 Juli 2017 atau 3 Dzulhijah 1438 H dikeluarkanlah keputusan Presiden Nomor 355 tahun 2017 tentang Dewan Nasional Pemberantasan Terorisme dan Radikalisme yang di bawahnya membawahi 16 pejabat negara mulai dari Ketua Parlemen sampai Kepala Badan Pengawas Administrasi, dan 13 Publik Figure Nasional ( Pasal 2 huruf a ). Badan ini memiliki tugas hampir sama dengan BNPT di antaranya ; menyusun strategi nasional, mengkoordinasikan seluruh instansi agama dan aparat keamanan, membuat perencanaan kawasan seperti kegiatan pemetaan pada FKPT BNPT, mempelajari hukum dan aturan Internasional, mengkoordinasikan seluruh lembaga, survey dan riset, melakukan undangan teknis, dan mendokumentasikan (Pasal 6).
Keputusan Presiden ini hanya berisi 8 pasal saja. Sementara yang menjadi kendala adalah situasi politik yang tidak stabil, dominasi militer atas penanganan terorisme dengan konsep perang seperti di sini ternyata tidak mampu menelisik jaringan secara komprehensif sekalipun media selalu menceritakan succes story penanganan terorisme.
Apa pembelajaran berharga bagi Indoneisia khususnya BNPT dari kunjungan ini? Melihat ancaman nyata terorisme global di mana mesir merupakan perlintasan berbagai ideologi dan paham keagamaan, ada beberapa yang kita dapatkan dari kunjungan ini. Pertama; menjadi da’i, imam dan pengkotbah agama bukan pekerjaan yang mudah. Untuk memahami Agama secara mendasar saja orang harus melalui pendidikan dasar al Quran, Hadist, Tasawuf dan Fiqih secara benar.
Kedua ; yang lulus dari fase pemahanan akan masuk ke pendidikan menegah untuk topik yang sama secara mendalam.
Ketiga ; yang lulus pada fase sebelumnya akan diberi pendidikan komunikasi psikologis dan berbagai ilmu sosial lainnya.
Keempat ; mereka yang lulus akan ditangani para imam besar khususnya para Imam Al Azhar.
Kelima ; yang dipersiapkan menjadi da’i, imam dan pengkotbah harus memiliki integritas yang tinggi dan harus lulus ujian dihadapan ahli agama. Dan prosentase kelulusan diseleksi dengan sangat ketat.
Apa yang Bisa Dipelajari?
Kita sebagai negara yang selama berpuluh-puluh tahun bersahabat dan menginisiasi kerjasama bilateral dengan mesir sangat menyadari bahwa menangani terorisme itu tidak bisa sendirian. Diperlukan kerjasama pada tataran informasi dan capacity building. Sebaliknya apa yang menjadi kendala Mesir merupakan pedoman kunci untuk memperbaiki kinerja kita, misalnya pemanfaatan pendekatan keras oleh negara.
Berikuntnya pelibatan tokoh masyarakat yang hanya sebatas figur. Selama ini mitra penanggulangan terorisme di Indonesia telah sangat aktif menempatkan mantan teroris sebagai bagian dalam program pencegahan untuk kontra propganda, kontra narasi dan pembenahan system decipleship ebagai radicalism school pada masa lalu.
Namun, apa yang sangat menjadi perhatian dari Mesir adalah meniru proses melahirkan dai handal sebagaimana yang dilakukan Al Azhar. Proses ini barangkali dapat menjadi rujukan bangsa ini agar tidak mudah terjebak pada pendangkalan keagamaan di ranah publik. Banyak sekali bermunculan da’i dan ustad yang “kredibilitas” keilmuannya masih diragukan tetapi karena popularitas yang tinggu. Tentu saja ini sangat menyedihkan. Da’i sejatinya harus mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat dan itulah pentingnya da’i dengan kemampuan yang komprehensif.
Semoga berhasil dan semoga Allah melindungi Bangsa Indonesia dari ancaman terorisme pada masa yang akan datang. Amin