Surabaya – Walikota Surabaya Dr. Ir. Tri Rismaharini, MT, menutup secara resmi Rapat Koordinasi (Rakor) Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Terorisme di Provinsi Jawa Timur (Jatim) di Hotel Vasa, Surabaya, Kamis (27/2/2020. Pada kesempatan itu Risma bercerita betapa syok dia peristiwa Bom Surabaya yang melibatkan anak-anak dan perempuan.
Risma mengaku selama menjabat Walikota Surabaya dan sebelum kejadian bom Surabaya, ia menerapkan jam kerja 24 jam dengan tiga shift. Setiap pagi pun ia mengajak seluruh staf untuk berdoa bersama. Ia bahkan mendetilkan dalam doa agar tidak terjadi bencana alam, tapi ia lupa menyebutkan bencana terorisme.
“Saya kaget kejadian mengajak anak-anak dan ibu. Saat itu, betapa beratnya, bukan hanya anak-anak yang terkena dampaknya langsung tapi juga kepada anak di seluruh sekolah di Surabaya,” ujar Risma.
Setelah kejadian itu, ia meliburkan sekolah selama seminggu. Selama satu minggu itu ia mengumpulkan psikolog dan psikiater, juga melakukan pendampingan terhadap korban dengan mengubah lingkungan sekolah. Itu dilakukan karena anak-anak sudah terlibat saling olok. Tidak hanya itu, akiba bom Surabaya itu, perekonomian Kota Surabaya juga hancur.
“Saya mendampingi korban, saya datang ke gereja, pulang siang. Malah pendapatan Kota Surabaya yang biasanya tiap hari bisa sampai Rp300 juta, tapi begitu kejadian pendapatan kami hanya Rp1 juta,” jelas Risma.
Dari situ ia turun ke pasar, juga tiap maghrib bertemu seluruh takmir masjid dan pengurus gereja agar tidak terjadi ketegangan. Ia juga bersama jajaran Forkopimda berkeliling dari kecamatan ke kecamatan selama satu bulan penuh.
Risma mengaku tidak pernah merasakan tekanan seperti mengurus masalah terorisme ini. Selama menjadi walikota ia pernah tangan patah dan masuk got, tapi bisa dijalani. Tapi mengurus masalah terorisme diakuinya sangat berat karena ini tidak hanya menyangkut fisik, tapi ideologi. Malahan, ia mengaku miris dengan perang propaganda terorisme, telah bom Surabaya.
“Katanya kafir yang tidak seiman, wong korbannya juga muslim. Saya ikut tahlilan untuk meredam ketegangan itu,” kata Risma.
Risma mengaku untuk menangani terorisme tidak bisa dilakukan sendiri. Karena itu, ia mengapresiasi kegiatan Rakor Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Terorisme di Provinsi Jawa Timur ini.
“Memang kami tidak bisa sendiri, karena itu kami menggandeng dan bekerjasama stakke holder lain untuk menyelesaikan masalah ini. Kalau tidak ditangani bahaya sekali. Bukan hanya kejadian, tapi negara ini akan hancur,” terangnya.
Risma juga menyoroti penanganan anak-anak korban terorisme. Ia mengaku merasakan sendiri bagaimana menangani anak-anak terpapar terorisme. Bahkan ia juga tidak menyalahkan ada orang meragukan anak-anak bisa melakukan tindak pidana terorisme. Padahal, semua orang harus tahu bahwa anak-anak itu telah didoktrin luar biasa sehingga harus dipertimbangkan bukan masalah hukumnya saja, tetapi bagaimana mengembalikan anak-anak itu agar pulih dan menjadi anak normal, tidak berprasangka, tidak suudzon.
“Kalau tidak kita sembuhkan anak-anak ini, mereka akan punya perasaan-perasaan itu. Karena itu saya senang digelarnya Rakor ini supaya kita semua mempunyai pandangan yang sama dan kemudian apa yang harus kita lakukan,” jelasnya.