Jakarta – Pemerintah diminta untuk tidak terlalu terburu-buru dalam mengambil keputusan untuk memulangkan eks Warga Negara Indonesia (WNI) yang pernah bergabung dengan jaringan kelompok terorisme Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS)
Hal tersebut dikatakan Pakar Hukum Internasional, Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, Ph.D saat menjadi narasumber pada acara Focus Group Dicussiom (FGD) dengan melakukan Kajian Ilmiah terkait isu rencana pemerintah untuk memulangkan WNI eks anggpta ISIS di Suriah ditinjau dari Aspek Hukum Pidana, Hukum Internasional, dan Koordinasi Keimigrasian.
Acara yang diikuti para Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Penyidik Detasemen Khusus (Densus) 88/Anti Teror Polri ini di fasilitasi Subdit Hubungan Antar Aparat Penegakan hukum pada Direktorat Penegakkan Hukum di Kedeputian II bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Hotel Varenda, Jakarta, Selasa (11/2/2020)
“Yang pasti pemerintah menurut saya tidak perlu buru-buru untuk mengambil kebijakan untuk memulangkan mereka mereka ini ke Indonesia. Karena sekali lagi saya katakan bahwa mereka-mereka ini sudah bukan Warga Negara Indonesia lagi,” ujar Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, Ph.D.
Hikmahanto menegaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 2016 pasal 23 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan dan Pembatalan, tentunya bagi mereka mereka yang bergabung ke ISIS sudah tidak lagi menjadi Warga Negara Indonesia.
“Pasal 31 (1) PP No. 2 tahun 2007 dikatakan Warga Negara Indonesia dengan sendirinya kehilangan kewarganegaranya karena huruf c, Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden. Lalu huruf e mengatakan, Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut. Dan mereka kan sudah melakukan hal itu,” ujar pria yang juga Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.
Peraih British Achieving Award dari Pemerintah Inggris ini mengungkapkan, bila anggota ISIS asal Indonesia ini bukan lagi WNI, maka seharusnya tidak punya kewajiban untuk mengurus mereka, meski asalnya dari Indonesia.
“Masalah pemulangan eks. WNI anggota ISIS ini tidak bisa disamakan dengan pemulangan WNI di Wuhan, China akibat wabah virus Corona atau WNI yang melakuan overstay di negara Arab,” ujar peraih Master Hukum Internasional dari Keio University, Jepang ini
Namun demikian menurut Hikmahanto, mungkin bisa saja nantinya lembaga internasional atau organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang akan mengambil kebijakan untuk mengembalikan mereka-mereka warga eks. suatu negara untuk kembali ke negara asalnya dan menghadapi proses hukum.
“Jika ada keputusan itu tentunya pemerintah Indonesia juga harus bersinergi dengan kebijakan atau keputusan yang akan diambil oleh organisasi internasional nantinya. Sehingga dapat sinergis dengan negara-negara lain dalam pengambilan kebijakan,” ujar mantan Dekan Fakultas Hukum UI ini.
Hikmahanto sendiri sangat mengapresiasi acara FGD yangdifasilitasi BNPT ini agar aparat penegak hukum bisa mengantisipasi nantinya apabila ada kebijakan dari pemerintah untuk mengembalikan eks WNI ini ke Indonesia.
“Apabila itu terjadi maka tentu harus kita pikirkan bagaimana melakukan proses hukum dan deradikalisasi terhadap mereka mereka ini. Dan di sini lah pentingnya acara kita hari ini,” kata pria kelahiran Jakarta, 23 November 1965 ini.
Narasumber lainnya, Panitera Muda Pidana Umum Mahkamah Agung RI, Dr. Sudharmawatiningsih, SH, MH, mengungkapkan khusus di dalam kaitannya dengan kewenangan pengadilan sebagai lembaga yudikatif, sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya bahwa dalam menerima, memeriksa dan mengadili perkara untuk memutus perkara yang masuk, pengadilan atau Hakim akan bersandarkan kepada alat bukti yang diajukan serta keyakinan Hakim.
“Sehingga dari situlah diharapkan teman-teman dari penuntut umum di dalam menyajikan alat-alat bukti tersebut dapat semuanya dapat dipertanggungjawabkan dapat dibuktikan sebagai hubungannya dengan perbuatan-perbuatan yang nantinya didakwakan tersebut.
Oleh karena itu apabila perkara tersebut diajukan oleh pengadilan, pengadilan harus sudah siap untuk menerima, memeriksa dan mengadili perkara tersebut. “untuk itulah FGD ini tujuannya untuk menyamakan persepsi berkaitan dengan penanganan penanganan perkara tindak pidana terorisme,” ujar mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) ini.
Naasumber lainnya, Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian pada Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, Brigjen Pol. Drs. Reynhard Saut Poltak Silitonga, SH., M.Si, mengatakan pihaknya siap untuk melakukan kerjasama dengan instansi terkait agar dapat mendukung proses hukum dan penanggulangan terorisme di Indonesia.
“Di dalam Kerjasama dengan instansi lain, akan dilakukan dengan BNPT, BIN, BAIS, Densus 88 AT, Bareskrim, dan Baintelkam di dalam memberikan data paspor dan perlintasan untuk memasukan nama terduga/kombatan teroris ke dalam DPO Ditjenim. Kami akan melakukan tindak administratif keimigrasian berupa cegahatau tangkal. Penarikan atau pencabuatan paspor atau SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor),” kata Brigjen Pol. Drs. Reynhard Saut Poltak Silitonga.