Jakarta – Hambatan besar dunia pers di era digital saat ini adalah harus berperang melawan pesaing tangguh yakni media sosial (medsos). Tak hanya itu, tumbuh pesatnya media abal-abal yang juga memainkan perannya sebagai jurnalistik juga menjadi hambatan bagi media mainstream. Berbagi survey telah merilis medsos justru lebih digandrungi untuk mencari informasi dari pada media mainstream. Bahkan di lain pihak, media mainstream justru menjadikan konten di medsos sebagai berita.
Hal ini tentunya akan menyuburkan disinformasi dan mematikan literasi bagi masyarakat. Untuk itu di era sekarang ini pers dituntut untuk harus bisa menumbuhkan literasi postif bagi masyarakat. Hal ini tentunya supaya bisa membuat masyarakat tenang tanpa adanay perpecahan demi menjaga persatuan bangsa.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan mengatakan, tugas wartawan seperti diamanatkan dalam undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers memiliki beberapa fungsi. Yang mana fungsinya antara lain adalah memerdekan informasi, menjadi media pendidikan dan juga kontrol sosial. Dengan tiga fungsi itu maka wartawan secara naluriah pasti juga menjalankan fungsinya untuk memberikan informasi yang aktual kepada masyarakat dan memberikan informasi yang paling tidak mendekati kebenaran.
“Saya kira wartawan dengan menjalankan fungsi itu saja sebenarnya sudah bisa mengajak masyarakat jadi lebih melek dan juga lebih terliterasi. Dengan begitu wartawan akan mendorong masyarakat untuk bisa menjadi lebih pintar karena masyarakat akan mendapatkan informasi yang akurat, termasuk informasi yang belum tentu benar,” kata Abdul Manan di Jakarta, Minggu (9/2/2020).
Dikatakan Manan, dengan makin berkembangnya teknologi informasi, banyak sekali media mainstream yang justru banyak mengacu pada medsos sebagai sumber berita. Dengan menjadikan medsos sebagai informasi atau bahan awal untuk berita, sebenanrya bukanlah sebuah ‘dosa’. Namun demikian sebelum informasi itu disampaikan ke publik, maka wartawan tersebut wajib melalakukan verifikasi terlebih dahulu.
“Kalau menggunakan bahan awal dari medsos maka verifikasi itu adalah hal wajib dan standar yang dilakukan oleh wartawan sebelum informasi itu disebarkan ke masyarakat. Karena saat ini orang dengan mudah bisa membuat akun termasuk membuat posting yang bisa saja misalnya berbahaya. Apa yang disampaikan orang melalui medsos itu belum tentu sesuatu yang factual,” kata Manan.
Manan mengingatkan, penggunaan medsos l itu harus dipakai secara bijak. Jangan sampai karena ada informasi yang hanya karena ramai dan menjadi pebincangan di medsos lalu diangkat untuk diperbincangkan di masyarakat. Karena belum tentu juga apa yang diperbincangkan di medsos itu sesuatu yang menjadi konsen banyak orang.
Karena menurutnya ukuran medsos itu adalah ukuran sangat mudah dipalsukan. Misalnya trending topic. Hal itu bisa diciptakan, karena itu sebenarnya sesuatu hal yang bisa ‘dibayar’ untuk membuat sesuatu menjadi trending topik. Hal itu tentunya harus menjadi pertimbangan oleh media mainstream ketika harus menggunakan bahan dari medsos.
“Apalagi misalnya informasinya meragukan. Saya kira dalam hal ini media sikapnya sangat diperlukan. Jnngan sampai media itu dikendalikan oleh agenda di media sosial, yang kita tahu bahwa media sosial itu tidak punya kewajiban untuk patu kepada kode etik. Karena di media sosial orang boleh saja memposting apa saja termasuk sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran,” ujar pria yang juga Redaktur Majalah Tempo ini.
Dikatakan Manan, jika wartawan mengambil langsung sumber informasi berita dari medsos tanpa melakukan verifikasi lanjutan apakah itu informasinya benar atau tidak, tetunya hal tersebut adalahsesuati tindakan yang sangat ceroboh. Wartawan tersebut tentu tidak memegang teguh kode etik yang merupkan suatu kewajiban utama wartawan itu menemukan kebenaran.
“Karena salah satu cara untuk menemukan kebenaran itu adalah melalui proses verifikasi. Ketika verifikasi itu tidak dilakukan, apalagi kalau hal tersebut dilakukan secara sengaja, berarti wartawan tersebut berpotensi melanggar kode etik,” ujarnya.
Tentunya dengan banyaknya jumlah wartawan yang ada di Indonesia ini AJI sendiri tidak bisa melakukan tindakan apa-apa terhadap wartawan yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik tersebut, karena tidak semua wartawan masuk ke dalam anggota AJI. Beda halnya jika yang melakukan pelanggaran darianggota AJI sendiri yang tentunya aka nada sidang kode etik profesi wartawan itu sendiri.
“Tapi kami akan lebih banyak memberikan seruan kepada wartawan agar berusaha untuk selalu mematuhi kode etik. Karena kode etik itulah yang membedakan antara media mainstream dan media sosial. Saya kira kepatuhan terhadap kode etik itu pada akhirnya akan membuat publik akan lebih percaya kepada media mainstream. Karena media mainstream ini dalam memprodukss berita berdasarkan berbagai proses baik melalui verifikasi serta cek n ricek untuk memastikan informasi yang disampaikan itu adalah benar,” ujarnya.
Untuk itu menurunya pentimg sekali saat ini bagi media mainstream untuk bisa mengembalikan kepercayaan di mata masyarakat bahwa media mainstream adalah sumber berita yang terpercaya seperti sebelum lahirnya medsos. Media mainstream dituntut harus membuat pembeda yang sangat jelas dengan medsos.
“Karena hanya dengan begitu orang bisa pelan-pelan kembali kepercayaannya kepada media mainstream. Saya akui dengan majunya era teknologi, selama ini media sosial itu lebih dipercaya oleh masyarakat karena dia gratis, informasinya cepat. Tentu saja hal itu yang sulit dipenuhi oleh media mainstream,” ujarnya.
Namun demikian dirinya percaya bahwa dengan dipegang teguhnya kode etik jurnalistik oleh wartawan, maka lama-lama publik pada akhirnya akan kembali percaya kepada media mainstream. Karena dirinya juga yakin bahwa orang pada akhirnya akan lelah jika mendapatkan informasi yang tidak akurat. Apalagi informasi yang didapat sifatnya memprovokasi seperti yang banyak ditemukan di medsos supaya bisa menarik perhatian publik.
“Media mainstream harus lebih setia pada prinsip-prinsip jurnalistik, karena hal itu yang membuatnya berbeda. Dan hal itu menjadi nilai lebih bagi media mainstream dibandingkan media social Dengan cara seperti itu kepercayaan publik pelan-pelan akan kembali ke media mainstream karena pada dasarnya orang dalam mencari informasi itu untuk mendapatkan kebenaran,” ujar pria yang juga pernah menjadi Sekretaris Jenderal AJI pada periode 2005-2008 ini
Dirinya juga berharap industri pers juga bisa turut serta untuk berperan dalam menangkal penyebran paham radikal terorisme di masyarakat dengan menyajikan pemberitaan yang dapat menyejukkan suaana di masyarakat agar tidak muda terbujuk rayu terhadap propaganda paham raidikal terorisme melalui media massa maupun medsos.
“Saya kira wartawan dengan fungsi verifikasinya, maka dia akan membuat informasi yang disebarkannya itu bisa membuat mana kebenaran dan mana propaganda. Kalau wartawan menjalankan funsginya dengan benar, dengan melakukan verifikasi yang ketat, saya kira dia akan secara naluriah bisa memfilter propaganda-propaganda yang disampaikan melalui media sosial sehinga masyarakat tidak mudah termakan propaganda,” ujar mantan Ketua Umum Forum Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) ini mengkahiri