Jakarta – Tansparansi Beneficial Ownership (BO) sangat penting dalam
upaya bersama melawan korupsi, pencucian uang, pendanaan terorisme,
dan kejahatan keuangan lainnya, termasuk pemulihan aset. Hal itu
dikatakan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Cahyo R. Muzhar
saat memberi sambutan pada forum bertajuk ‘The Regional Peer Exchange
on Advancing Anti-Corruption in Southeast Asia through Beneficial
Ownership (BO) Transparency’.
Acara ini merupakan hasil kerja sama antara United Nations Office on
Drugs and Crime (UNODC), Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) World
Bank, Open Ownership (OO), dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Kemenkumham) dalam hal ini Direktorat Jenderal Administrasi Hukum
Umum (Ditjen AHU).
Cahyo mengungkapkan bahwa sejak 2018, Ditjen AHU telah mengelola data
BO dari seluruh jenis korporasi di Indonesia secara elektronik.
“Database BO kami dapat diakses oleh lembaga penegak hukum dan
otoritas kompeten lainnya melalui integrasi data dan mekanisme berbagi
data. Lebih dari itu, data BO kami tersedia untuk publik, menjamin
transparansi dan akuntabilitas,” kata Cahyo, Selasa (13/8/2024).
Dia juga menggarisbawahi peran penting yang telah dilakukan Ditjen AHU
dalam mengawasi pencatatan BO di Indonesia dan dalam membangun
kebijakan BO nasional, telah membuahkan hasil dengan penetapan
Indonesia sebagai negara anggota Financial Action Task Force (FATF)
pada tahun 2023.
Hal ini dikarenakan setiap perusahaan di Indonesia wajib melaporkan
pemilik manfaat akhir.
Lebih lanjut dirinya menerangkan, untuk memastikan kredibilitas
informasi pemilik manfaat, saat ini Ditjen AHU telah menerapkan
langkah-langkah verifikasi yang ketat.
Proses ini melibatkan persyaratan bagi perusahaan untuk
mengidentifikasi pemilik manfaatnya secara internal serta notaris
untuk melakukan uji pengguna jasanya, sehingga menjadikan notaris
sebagai penjaga pintu penting dalam memastikan akurasi dan keterkinian
informasi BO.
“Notaris sebagai salah satu gate keeper diberi tanggung jawab untuk
melakukan prinsip mengenali pengguna jasa atau Customer Do Diligence
serta meningkatkan kewaspadaannya untuk memastikan bahwa korporasi
yang akan didaftarkan tidak dikelola atau digunakan sebagai pencucian
uang dan pendanaan teroris,” kata Cahyo.
Untuk mendukung kepatuhan, Indonesia juga menerapkan sanksi untuk
menegakkan kepatuhan terhadap persyaratan deklarasi BO, termasuk
daftar hitam publik untuk perusahaan yang tidak mematuhi, serta sanksi
pemblokiran yang membatasi perubahan anggaran dasar, struktur,
kepengurusan, dan kepemilikan perusahaan.
Langkah-langkah ini bertujuan untuk mencegah ketidakpatuhan dan
mendorong transparansi di sektor korporasi.
“Dalam upaya menyelaraskan sistem BO dengan standar internasional,
kami juga bekerja sama dengan Open Ownerships dan UNODC untuk
melakukan penilaian komprehensif. Meskipun ada beberapa isu kecil,
sistem BO Indonesia diakui cukup kuat dalam struktur data dan
mekanisme verifikasi,” ujarnya.
Cahyo menegaskan komitmen untuk terus memperbaiki verifikasi BO,
mengintegrasikan data secara lebih luas, dan meningkatkan sosialisasi
kepada masyarakat.
Dirinya yakin, forum ini akan menjadi sarana yang berharga untuk
berbagi wawasan, mendiskusikan tantangan, dan mengeksplorasi
pendekatan inovatif dalam menerapkan transparansi BO serta
memfasilitasi pemulihan aset.
“Atas nama Kemenkumham dan Ditjen AHU, saya juga ingin menyampaikan
terima kasih kepada mitra kami di UNODC, StAR World Bank, dan Open
Ownership atas dukungan dan kolaborasi yang tiada henti,” kata Cahyo.