Tradisi “Tolu Batu Lalikan” Perekat Toleransi Antar Umat Beragama di Toraja

Tradisi “Tolu Batu Lalikan” Perekat Toleransi Antar Umat Beragama di Toraja

Toraja – Masyarakat Toraja selama ini dikenal memiliki budaya dan
kearifan lokal yang mengakar. Bermodal itulah yang masyarakat
toleransi beragama yang sangat kuat.

Terbukti, di daerah dengan penduduk mayoritas beragama Kristen ini,
belum pernah terdengar adanya konflik antar agama maupun suku.

Ternyata, Toraja yang terkenal sebagai masyarakat multikultural,
memiliki ragam suku, ras dan agama, punya cara unik merawat toleransi
antaretnis dan umat beragama.

Toraja memiliki tradisi “Tolu Batu Lalikan” yang dalam bahasa Toraja
kira-kira bermakna persekutuan antara budaya, agama dan pemerintah
menjadi perekat kokoh toleransi antar umat beragama di Toraja.

Tradisi ini menggali pemaknaan simbol-simbol budaya dan agama dalam
konteks yang luas untuk kemaslahatan manusia yang terus-menerus
digalakkan masyarakat, pemerintah dan tokoh agama, menjadikan Toraja
tak mudah terpancing konflik atau disharmoni antara umat beragama yang
kerap meletup di sejumlah daerah di tanah air.

Pendeta Sulaiman Manguling MTh, yang juga tokoh masyarakat di Tana
Toraja, dikutip dari Kompas.com, menyebutkan, sinergitas yang
terbangun kokoh antaretnis, suku dan umat beragama di Toraja sudah
berlangsung ratusan tahun lalu.

Yang menarik, menurut Sulaiman, masyarakat Toraja dalam memperkaya
kesadaran toleransi tidak hanya memanfaatkan agama masing-masing
sebagai basis, tetapi juga budaya Toraja yang diwariskan secara
turun-temurun.

Tradisi “Tolu Batu Lalikan” dalam bahasa Toraja juga dimaknai sebagai
saling menopang dan mendukung menjadikan masyarakat Toraja tidak mudah
terpecah belah meski isu disharmoni sedang berlangsung di berbagai
daerah.

Menurut Pendeta Sulaiman, persatuan dan kesatuan antarumat beragama
dan antaretnis serta golongan di Toraja sangat kokoh dan tidak mudah
digoyahkan meski ada upaya mengobok-obok semangat toleransi dari luar
daerah.

Sulaiman mengatakan, toleransi unik ala masyarakat Toraja dijumpai
dalam agama apa pun di Toraja.

Saat umat Kristiani merayakan Natal dan Paskah, misalnya, umat lain
datang menawarkan peran-peran apa saja yang bisa mereka lakukan
sebagai bentuk partisipasi dan penghormatan tanpa mereka harus
diundang terlebih dahulu.

Demikian sebaliknya, saat umat agama lain seperti Muslim merayakan
acara keagamaan seperti Idul fitri, Isra Miraj, Maulid Nabi, penganut
agama lain lain juga datang menawarkan bantuan tanpa dipinta.

Termasuk juga jika ada orang yang meninggal. Semua warga, tanpa
membeda-bedakan agama, ikut berbaur dan saling membantu dari mulai
mengurus jenazah hingga pemakaman.

“Dalam acara tertentu simbol-simbol agama atau apa pun malah tak
muncul sama sekali, terutama misalnya saat ada kematian salah satu
umat atau pemeluk agama tertentu, semua agama lain datang tanpa
mengenal identitas apa pun dan ini sudah terpelihara ratusan tahun
lalu,” jelas Sulaiman..

Kekompakan masyarakat Toraja juga ditunjukkan ketika konflik bernuasa
SARA sedang menimpa kabupaten tetangga, Luwu pada 1998 lalu.

Masyarakat Toraja yang datang dari beragam agama dan suku ikut
berperan menyelesaikan konflik tersebut.

“Saat konflik bernuansa SARA di Luwu 1998 lalu, masyakarat Toraja yang
multiagama, etnis dan suku ikut terpanggil berperan membantu
menyelesaikan konflik. Dan, kita bersyukur konfliknya reda,” ujar
Sulaiman.

Sulaiman mengatakan, masyarakat Toraja juga rutin menggelar kongres
yang disebut Toraja Makombongan.

Rapat yang sudah digelar beberapa hari lalu itu memutuskan bahwa dalam
memperkokoh semangat kebersamaan dan persatuan masyarakat, budaya
Toraja sebagai salah satu basis nilai yang terbuka untuk agama apa
saja harus terus diperkuat dengan cara diinterpretasi ulang dan
disesuaikan dengan perkembangan zaman.