Jakarta – Kemudahan dalam berkomunikasi dalam era digital saat ini, seharusnya menjadi modal yang bagus dalam menjaga toleransi antar sesama manusia.Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun terus mendorong peningkatan literasi digital, salah satunya dengan seminar online Ngobrol Bareng Legislator dengan tema ‘Teknologi Merajut Toleransi’, Senin (15/5/2023).
Anggota Komisi I DPR RI, Drs H Mukhlis Basri mengungkapkan, era digital telah membentuk tatanan baru di mana manusia dan teknologi hidup berdampingan dan berkolaborasi. Budaya digital hasil revolusi industri 4.0 pun berperan dalam penggunaan teknologi interner untuk berinteraksi, berperilaku, berpikir dan berkomunikasi.
“Sikap toleran akan mewujudkan kesetaraan sosial yang menjembatani segala macam perbedaan. Sehingga masyarakat ahrus mendapat edukasi dan keteladanan yang benar, tentang bagaimana bisa hidup demokratis dan bertoleransi di era digital,” kata Mukhlis.
Diharapkan, masyarakat dapat cakap digital dan cakap bicara demi menjaga keutuhan bangsa. Menurutnya, penguatan sikapa toleransi harus dipandang penting dan dilakukan dengan tindaka-tindakan nyata.
Kaprodi PPKN FKIP Universitas Lampung, Yunisca Nurmalisa menyampaikan konsep tentang pengenalan teknologi merajut toleransi yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan lebih inklusif dan mengurangi ketegangan sosial, selain teknologi dapat digunakan untuk memfasilitasi diskusi dan kolaborasi.
“Untuk antar-siswa, keuntungan yang didapat dari teknologi merajut toleransi adalah terciptanya ruang dialog yang aman dan terbuka, meningkatkan pemahaman tentang budaya dan agama yang berbeda, hingga dapat mengakses informasi dan sumber data yang berkaitan dengan kebudayaan dan agama lain secara mudah serta cepat,” jelas Yunisca.
Meski begitu, kesenjangan digital masih terdapat di beberapa wilayah yang kerap digunakan untuk menyebarkan pesan intoleransi dan kebencian.
“Teknologi merajut toleransi adalah sebuah konsep yang penting dalam menjaga harmoni dan kerjasama antar masyarakat yang berbeda-beda. Dengan menggunakan teknologi sebagai alat untuk berkomunikasi dan berinteraksi, masyarakat dapat lebih mudah saling memahami dan menghargai perbedaan mereka,” kata Yunisca.
Sementara Dosen Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta, Fatkhuri mengungkap bahwa saat inu dunia berada pada masa VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity). Volatily adalah lingkungan labil, cepat berubah terjadi dalam skala besar.
Uncertainty adalah Sulit meprediksi dengan akurat apa yang akan terjadi. Complexity adalah Multi faktor yang saling terkait. Ambiguity adalah Ketidakjelasan suatu kejadian dan mata rantai akibatnya.
“Dunia VUCA ditandai dengan kehidupan yang berubah sangat cepat, tidak terduga, dipengaruhi oleh banyak faktor yang sulit dikontrol, dan kebenaran serta realitas menjadi sangat subyektif. Perkembangan teknologi dan informasi (salah satunya internet) menjadi salah satu faktor determinan dari perubahan tersebut,” kata dia.
Menurutnya, salah satu dampak dari sebuah perubahan yang terjadi adalah banyak miss informasi, diss informasi (hoaks) dan lainnya yang dapat mengancam kohesi sosial masyarakat.
Kata Fatkhuri, era VUCA telah mengubah cara pandang dan sikap masyarakat. Dalam realitas politik, teknologi dan informasi (medsos) telah memberikan ruang bagi warga untuk membangun komunikasi, interaksi, dan partisipasi secara lebih bebas.
“Media sosial telah membentuk dispersive power, di mana wargaNet telah merebut kesempatan itu untuk (salah satunya) mengontrol kekuasaan. Medsos dapat mendorong demokrasi karena mampu membentuk komunitas virtual tanpa dibatasi lokasi dan lainnya,” jelasnya.
Dirjen Aptika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan, pemerintah akan terus mendorong agar masyarakat Indonesia memiliki keunggulan dalam memanfaatkan dunia digital.
“Kita ingin mempercepat dalam mewujudkan agenda transformasi digital Indonesia. Agar bangsa Indonesia menjadi masyarakat madani berbasis teknologi dan unggul dari segi sumber daya manusia,” kata Semuel.