Toleransi dan Moderasi Beragama Berangkat dari Pemahaman Islam yang Kaffah dan Dimulai dari Keluarga

Toleransi dan Moderasi Beragama Berangkat dari Pemahaman Islam yang Kaffah dan Dimulai dari Keluarga

Padang – Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Sumatera Barat, Dr. Syur’aini, M.Pd., menyampaikan bahwa upaya meningkatkan toleransi dan moderasi beragama harus berangkat dari pemahaman Islam secara menyeluruh, serta ditanamkan sejak dini dalam keluarga.

Menurutnya, moderasi beragama dalam Islam dikenal dengan istilah wasathiyah atau ummatan wasathan — sebagaimana disebut dalam Surah Al-Baqarah ayat 143, yakni umat yang adil dan berada di tengah, tidak ekstrem ke kiri atau ke kanan.

“Allah telah menegaskan bahwa kita ini umat yang diharapkan bersikap adil dan seimbang,” ujarnya pada Dialog Kebangsaan Bersama Ormas dan Tokoh Perempuan Dalam Rangka Meningkatkan Toleransi dan Moderasi Beragama di Asrama Haji Padang, Sumatera Barat, Rabu (8/10/2025). Kegiatan ini digelar sebagai hasil kolaborasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Komisi XIII DPR RI.

Dr. Syur’aini menjelaskan, istilah wasathiyah juga ditemukan dalam ayat-ayat lain, seperti Surah Al-A‘la ayat 5 yang mengandung makna “tengah yang terbaik”, Al-Maidah, dan Al-Qalam yang menekankan kebijaksanaan, serta kata wustha dalam konteks salat yang berarti waktu tengah, seperti salat Zuhur dan Asar.

“Jadi, moderasi beragama atau Islam wasathiyah tidak perlu diragukan. Itu adalah ajaran yang jelas dan mendasar,” tambahnya.

Ia menekankan bahwa dalam hubungan dengan non-Muslim, Islam mengajarkan ukhuwah insaniyah atau persaudaraan sesama manusia, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, yang menegaskan pentingnya lita‘arafu — saling mengenal dan menghormati perbedaan.

“Ukhuwah Islamiyah juga harus diiringi penghormatan terhadap kemanusiaan universal tanpa memandang latar belakang agama maupun unsur primordial,” jelasnya.

Menurut Dr. Syur’aini, nilai Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin hanya dapat terwujud jika setiap keluarga memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara kaffah atau menyeluruh.

“Kalau pemahaman agama masih sepotong-sepotong, bisa muncul kesalahpahaman bahkan radikalisasi,” ujarnya.

Karena itu, pendidikan agama harus dimulai sejak dini dalam keluarga. “Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak-anak. Di sanalah nilai-nilai agama, moral, dan karakter terbentuk. Orang tua adalah guru pertama dan utama,” tutur Syur’aini.

Ia mencontohkan, rutinitas sederhana seperti membiasakan anak bangun pagi untuk salat Subuh berjamaah di masjid, atau berbicara dengan kata-kata baik, merupakan bentuk pendidikan yang membangun karakter.

“Fungsi keluarga bukan hanya membimbing, tapi juga menjaga ketaatan dan keteladanan. Anak belajar menghormati orang tua, bersikap sopan, dan taat aturan — itu semua bagian dari pendidikan agama,” ujarnya. Menutup pandangannya, Dr. Syur’aini menekankan pentingnya peran perempuan dalam membangun keluarga moderat dan berakhlak. “Sebagai istri, ibu, dan anggota masyarakat, perempuan harus menjadi teladan dalam perilaku dan tutur kata. Keluarga yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik, dan dari sanalah moderasi beragama tumbuh,” pungkasnya.