Wina – Para tokoh agama Austria memperingatkan pihak berwenang tidak mengaitkan terorisme dengan agama apa pun. Pernyataan itu diungkapkan setelah politisi populis meningkatkan retorika anti-Islam sejak seorang pria bersenjata membunuh empat orang di ibu kota Wina.
Kanselir Austria dari sayap kanan Sebastian Kurz mengumumkan langkah-langkah baru yang akan membuat Islam politik sebagai pelanggaran pidana. Salah satunya dengan keluarnya pelarangan jilbab dan cadar dan pelarangan pendanaan asing untuk kelompok agama.
Uskup Bernhard Heitz percaya hanya keadilan yang dapat mencegah terorisme dan sentimen anti-Islam akan menjadi kontraproduktif.
“Perwakilan Muslim, seperti perwakilan dari agama lain, telah menjauhkan diri dari serangan baru-baru ini di Paris, Nice, Dresden dan Wina. Retorika sayap kanan dan menoleransi sentimen anti-Islam akan menjadi kontraproduktif,” kata Heitz kepada Anadolu Agency dikutip dari laman Republika.co.id. Selasa (24/11/2020).
Imam Ramazan Demir yang telah bekerja dengan Muslim yang dipenjara di seluruh Austria selama bertahun-tahun mengatakan terorisme dan kekerasan tidak dapat dikaitkan dengan agama atau kelompok etnis mana pun. Dia menekankan tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama Islam merugikan Muslim.
“Ada seorang Muslim di antara korban serangan teroris di Wina. Teroris tidak membuat perbedaan dalam hal pembunuhan,” ujar Demir,
Dia menambahkan kurangnya definisi konsep politik Islam adalah penyebab keprihatinan di antara lebih dari 500 ribu komunitas Muslim di Austria. Rabi Schlomo Hofmeister mengatakan serangan teroris itu merupakan upaya merusak nilai-nilai seperti toleransi, kepercayaan, dan kebersamaan. Dia juga memperingatkan kebingungan atas apa yang disebut “Islam politik” dapat menyebabkan diskriminasi terhadap umat beriman.
“Semua orang memahami sesuatu yang berbeda dari ungkapan ‘Islam politik’ karena belum didefinisikan. Pertama-tama, istilah itu perlu dijelaskan, ‘Islam politik’ dan Islam sebagai agama harus dibedakan secara jelas,” tegas dia.