Jakarta – Peran strategis Tentara Nasional Indonesia (TNI) tetap dibutuhkan negara ini untuk membantu dan mendukung aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam memberantas aksi terorisme di Tanah Air.
Demikian disampaikan oleh Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah, RES Fobia di Jakarta, Jumat, (14/5) lalu.
Dia mengatakan, peran serta TNI dalam mengatasi terorisme ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari tugas pokok TNI dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan. Karena itu, tidak perlu ada kekhawatiran terkait rencana keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme.
Pengamat kebijakan publik UKSW ini menjelaskan, rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme itu disusun sebagai konsekuensi yuridis dari Pasal 43 Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No 15/2003 Tentang Penetapan Perpu No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.
Dikatakan, dalam Pasal 43 I ayat (1) disebutkan bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Pada Pasal 43 I ayat (2) mengatur secara hukum bahwa dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI. Sedangkan, Pasal 43 I ayat (3) menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Presiden.
Karena itu, dia berpendapat, kekhawatiran TNI akan menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan dalam tugas mengatasi terorisme, tidak hanya berlebihan, tetapi juga mengaburkan. Sebab, tidak secara mendalam dan lengkap mengenal konteks persoalannya.
Terkait hal ini, pengampu mata kuliah Hukum Humaniter UKSW tersebut menyampaikan lima hal penting yang patut diperhatikan. Pertama, dasar hukum TNI dalam mengatasi aksi terorisme (dasar hukum pembentukan Perpres tentang Tugas TNI mengatasi aksi terorisme), jelas ada dalam UUD 1945.
Pada bagian Pembukaan, khususnya alinea keempat telah disebutkan tentang “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Selanjutnya, Pasal 30 ayat (2) mengatur bahwa “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”
Bahkan, Pasal 30 ayat (3) menentukan, TNI terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
“Karena itu, pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme justru untuk memenuhi identitas dan konstitusionalitas Indonesia sebagai negara hukum, Apalagi, terorisme perlu ditangani, oleh kekuatan strategis dan terampil seperti TNI,” ujar alumni Fakultas Hukum UNS dan Graduate School of Policy Studies – Kwansei Gakuin University, Japan ini.
Kedua, keterlibatan TNI dalam mengatasi terorisme tidak perlu dikhawatirkan karena Pasal 2 UU No 34/2004 tentang TNI sudah memastikan jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional, dan tentara profesional. Karena itu, jati diri TNI justru perlu disyukuri dan didukung agar TNI bekerja secara maksimal dalam rangka kedaulatan rakyat.
Ketiga, Pasal 7 ayat (1) UU No 34/2004 mengatur bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 juga secara tegas mengatur tentang operasi militer nonperang dalam bentuk mengatasi aksi terorisme. “Jadi, ada dasar hukumnya. Kita proporsionallah. Proporsionalitas ini kan azas hukum. Bagaimana mungkin belum bekerja kok kita kita sudah menilai dan mengkhawatirkan secara tidak proporsional?” papar Mitra Kerja Indeks Demokrasi Indonesia ini.
Keempat, kedudukan hukum Perpres itu menindaklanjuti UU. Artinya secara hukum tidak boleh bertentangan. “Saya pikir rancangannya juga mengenal apa yang dibilang Joseph S Nye Jr sebagai kecerdasan kontekstual. Kan bisa dilihat bahwa ada pengaturan dalam rancangan Perpres itu yang tampak semangat kerakyatannya,” kata advokat ini.
Dalam Pasal 4 ayat (2) yang mengatur tentang kegiatan dan/atau operasi territorial, menyebutkan pelaksanaannya antara lain melalui bantuan kemanusiaan dan bantuan fisik/nonfisik, serta komunikasi sosial. Begitu pula kegiatan dan/atau operasi informasi dalam Pasal 4 ayat (3) antara lain akan dilakukan melalui komunikasi publik.
Begitu juga Pasal 10 dari Rancangan Perpres itu, jelas menyebutkan, hasil penindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 segera diserahkan kepada Polri untuk ditindaklanjuti dengan proses hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Dari sini terlihat ada pengaturan yang berdimensi kerja sama kesisteman yang bertanggung jawab. Ya kita dukung niat baik dan perkembangan positif ini,” tandasnya.
Kelima, seiring dengan isu dan masalah proxy war, juga pemberitaan tentang bahaya senjata nubika (nuklir, biologi dan kimia), maka dapat dikatakan bahwa bisa saja digunakan oleh jaringan teroris yang terkoordinasi. Dengan alasan itu, diperlukan perhatian khusus sebagai negara yang berdaulat atas hukum humaniter.
Hukum humaniter berlaku dalam setiap bentuk sengketa bersenjata, baik itu perang konvensional, perang nonkonvensional, dan perang modern. Bahkan, pada situasi tertentu, hukum humaniter juga dapat diberlakukan dalam kerangka perang yang oleh sebagian negara disebut sebagai perang melawan terorisme.