Jakarta – Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolirian Republik Indonesia (Polri), harus terlibat bersama dalam penindakan terorisme. Hal itu dikatakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono, terkait pelibatan TNI dalam Undang-Undang Antiterorisme yang masih alot dibahas antara pemerintah dan DPR.
Dikatakan, filosofi penegakan hukum dalam UU Antiterorisme harus dilengkapi dengan filosofi mengenai gangguan keamanan, baik terorisme maupun separatisme. Perubahan filosofi ini menjadi dasar kebersamaan TNI dan Polri dalam pencegahan dan penindakan terorisme.
“Sebaiknya dua institusi itu terlibat agar bisa dicegah efek negatif dalam pelakanaan UU ini seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Namun, UU ini juga harus dibuat secara detail sehingga meminimalisasi adanya multitafsir,” kata Ferry Juliantoro dalam rilisnya yang diterima wartawan, Senin (5/6/2017).
Dia menilai bahwa paradigma UU Antiterorisme seharusnya menjangkau filosofi mengenai pertahanan karena adanya potensi ancaman kedaulatan negara. Penggunaan asas prinsip bahaya atau ‘principle of clear and present danger’ adalah sesuatu yang dibenarkan.
“Hukum darurat berlaku bagi kondisi darurat. Kondisi darurat menempatkan kedaulatan negara sebagai prioritas utama sesuai doktrin dan yurisprudensi universal serta sesuai dengan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 dan Pasal 30 UUD 1945,” ujarnya.
Saat ini, pemerintah bersama panitia khusus RUU Anti Terorisme dari DPR RI tengah membahas revisi UU Nomor 15 Tahun 2003. Salah satu wacana yang bergulir dalam pembahasan ialah perlu-tidaknya keterlibatan militer dalam RUU itu. Pemerintah memandang perlu ada kewenangan TNI di UU Antiterorisme.