Lamongan – Tutur katanya ramah dan humoris kala memberikan materi di kelas membuat sabun dalam pelatihan yang diselenggarakan oleh Yayasan Lingkar Perdamaian di Tenggulun, Lamongan, Minggu (11/11) lalu.
“Ya, harus seperti itu. Sebab, dalam pertemuan pertama, seseorang harus bisa membuat lawan bicaranya tertawa. Itu membuka hati,” kata Toni Togar.
Dia lalu meriung dengan sejumlah mantan kombatan lain dari Yayasan Lingkar Perdamaian. Misalnya, Hasan dan Abid, dua penembak polisi pada 2010. Ada juga Atok dan Asadullah, dua pelaku Bom Bali I, serta sejumlah nama lain.
Pertemuan yang jika dilakukan 10 tahun lalu pasti membuat Densus 88 dengan antusias menggerebek mereka.
Keramahannya membuat banyak orang tak menyangka bahwa dia adalah mantan petinggi teroris kelas wahid di Indonesia. Bahkan, bagi ukuran Jamaah Islamiyah (JI), dia termasuk anggota sayap yang radikal. Aksi-aksinya di luar kontrol JI.
Kisah pria bernama asli Indrawarman itu dimulai ketika dia lulus dari madrasah tsanawiyah di sebuah ponpes di Sipirok, Sumatera Utara. Dia terpesona dengan ustad-ustad dari Ngruki yang mengajar di sana.
“Orangnya baik-baik. Akhlaknya baik-baik, pokoknya serba baik lah. Beda dengan santri di Medan yang karakternya keras-keras,” kata pria kelahiran Medan 48 tahun lalu tersebut kepada jawapos.
Toni kemudian menuju Jawa. Dia menyelesaikan pendidikan takhasus mualimin empat tahun di Ngruki pada 1990. Kemudian, dia mengajar lebih dari dua tahun di tempat yang sama.
Lazimnya anak muda dengan gairah agama meledak-ledak yang mendapat pendidikan di Ngruki saat itu, dia berangkat ke Afghanistan. Tentu saja dia berangkat melalui jaringan Abu Bakar Ba’asyir.
“Saya mendapat pelatihan militer,” katanya. Di Afghanistan dia menggunakan nama alias Abu Ubaydah. Selama dua tahun dia menimba ilmu militer. Toni dikenal mahir soal persenjataan dan menguasai strategi pertempuran jarak dekat.
Soal ideologi, jangan ditanya lagi. Gairahnya soal Islam makin meledak-ledak setelah dia terpapar paham takfiri yang memang sedang subur di tempat tersebut. Saat itu perbatasan Pakistan dan Afghanistan adalah ladang tumbuhnya gerakan Islam radikal.
Bantuan uang mengalir dari Arab Saudi dan AS untuk para militan Islam dari seluruh dunia. Sebab, mereka ujung tombak untuk menjatuhkan rezim Najibullah di Afghanistan. Para militan dari seluruh dunia tak perlu khawatir tidak bisa makan dan hidup layak di sana.
Sebagaimana yang digambarkan oleh seorang lulusan Afghanistan, meski hidup sederhana, makanan enak dan uang selalu tersedia. Namun, yang paling mengerikan di sana adalah berkembangnya ideologi takfiri.
Secara garis besar, bersumber dari pemikiran sejumlah nama besar, salah satunya Sayyid Qutb, para ideolog di Afghanistan membagi dunia menjadi dua. Yakni, darul Islam dan darul harb. Kerajaan Islam dan kerajaan kafir atau jahiliah.
Yang termasuk jahiliah di sini bukan hanya non-Islam, tapi juga orang Islam moderat, muslim yang berserah pada nilai-nilai bukan Islam dan mendasarkan diri pada hukum yang tidak berasal dari Allah. Mereka dianggap thaghut dan harus diperangi.
Dalam ideologi tersebut, tugas muslim adalah berjihad untuk memulihkan keadilan sosial dan mendirikan pemerintahan berdasar hukum Allah alias khilafah. Itulah dasar pemikiran kelompok teror seperti al – Qaeda, ISIS, dan Boko Haram.
Bagi mereka, darah orang kafir atau thaghut layak ditumpahkan. Semua boleh dilakukan, termasuk kekerasan, asal demi tegaknya khilafah. “Pemikiran itu sempat saya yakini,” kata Toni.
Pada 1996 dia pulang ke Indonesia. Awalnya, dia hanya menjadi anggota JI dan bergerak di bawah tanah. Di JI, dia ikut klan Imam Hambali, dedengkot JI yang kini ditahan di penjara Guantanamo. Semua berubah ketika kerusuhan Ambon meletus pada 1999.
Peristiwa itu membuat subur gerakan Islam militan di Indonesia. Menghubungkan kelompok Islam militan di Filipina Selatan -wilayah yang disukai kombatan Indonesia karena harga senjata di sana murah. Pendek kata, Ambon menjadi Afghanistan kedua. Direktur Yayasan Lingkar Perdamaian Ali Fauzi mengaku pernah melatih 3.000 orang di sana untuk bertempur.
“Termasuk, membuat bom,” kata Ali Fauzi, lalu nyengir.
Toni sempat aktif di Ambon. Di sanalah dia mendapat nama Toni Togar. Tidak lama kemudian dia memutuskan untuk kembali ke Medan. Untuk beraksi. Dia melakukan dua pengeboman. Yakni, pengeboman GKPI di Padang Bulan, Medan, dan serangkaian percobaan pembunuhan dengan bom yang menargetkan sejumlah pendeta di Medan. Antara lain, Pendeta Benjamin Munthe, Pendeta Banjarnahor, dan Pendeta Sitorus.
“Saat itu di kepala saya adalah membuat perimbangan saja. Sebab, di Ambon, umat Islam dibantai. Harus ada perimbangan,” kata Toni. Itu adalah aksi pertama yang dilakukan teroris Islam di Indonesia. Tak lama kemudian diikuti dengan aksi bom gereja oleh Ali Imron cs.
Namun, yang membuat namanya terkenal adalah perampokan fa’i (mengambil harta dari orang kafir) Bank Lippo pada 2003. Ketika itu, bersama dengan enam anak buahnya, dia mencegat mobil yang hendak mengisi uang di kantor cabang Bank Lippo di Medan. Selain menggasak uang Rp 113 juta, Toni cs menembak mati dua satpam dan melukai sopir mobil itu.
“Dasar pemikirannya, karena kami tidak ada banyak dana untuk melakukan aksi bom, maka harus cari uang. Nah, di situ kami ambil harta itu dari bank,” katanya dengan logat Batak kental.
Perampokan tersebut tak pernah dipecahkan oleh polisi. Aparat bingung karena tak ada satu pun anggota kelompok perampok yang dikenal selama ini yang beraksi. Toni baru tertangkap setelah Imam Samudra dibekuk atas kasus Bom Bali I pada 2003. Ketika itu di phonebook teroris yang dieksekusi mati pada 2008 tersebut ada nama Toni. Polisi lalu menyangka Toni kepala kelompok teroris JI cabang Sumatera. Toni pun diburu.
Toni bukan tidak tahu bahwa dirinya diburu. Dia sempat berpindah-pindah tempat dari Bengkulu ke Padang. Lalu, pelariannya berakhir di Pekanbaru. Setelah itu, dia menjalani interogasi panjang. Dia pun mengakui semua perbuatannya, termasuk perampokan fa’i yang membingungkan polisi.
Toni menjalani proses hukum dalam tiga kasus. Total, dia divonis 26 tahun penjara. Dia sempat berpindah-pindah rutan. Mulai Rutan Mako Brimob, lapas di Medan, hingga terakhir Lapas Nusakambangan. Karena berkelakuan baik, dia tak sampai menjalani seluruh hukuman dan keluar dari penjara pada November 2015.
Di Rutan Mako Brimob itulah dia mengalami titik balik. “Saya empat bulan di Rutan Mako Brimob. Sendirian ditahan di sana. Saya banyak merenung,” kenangnya.
Saat merenung itu dia merasa bahwa Indonesia belum cocok disebut darul harb.
“Selain itu, saya berpikir bahwa perjuangan kami masih tidak kuat. Justru malah tidak membuat umat Islam di Indonesia bersimpati dan bergabung,” ucapnya.
Dia lalu berpikir, jangan-jangan selama ini jalan pikirannya keliru. Dia lantas bertekad menjalani sisa hukuman dengan baik.
Saat keluar dari penjara, Toni sempat galau. Namun, bukan galau karena diajak ikhwan jihadi lain untuk kembali “main”. “Kalau itu, enggak lah. Saya tidak akan tergoda,” tegasnya. Namun, dia galau mencari pekerjaan. Untung, selama ini istrinya punya usaha dan komunitas inang-inang (emak-emak) di pasar. Karena itu, dapurnya tetap mengepul. “Tapi, ya tidak enak jika menggantungkan hidup kepada istri,” ucap dia.
Hingga suatu ketika dia bertemu dengan seorang bos distributor bahan sabun. Dia lalu belajar membuat sabun. “Setelah tiga kali percobaan, saya berhasil membuat sabun. Tapi, tidak saya jual dulu. Saya coba ke keluarga sendiri,” jelasnya.
Dia tidak hanya memproduksi sabun mandi, tapi juga sabun untuk cuci piring dan baju. Setelah dicoba selama tiga bulan di keluarga sendiri, hasilnya ternyata memuaskan. Dia lantas melemparkan produknya ke pasar. “Maksudnya percobaan itu, pas saya pakai mandi tidak bikin gatal-gatal,” katanya, lantas tertawa.
Usaha sabun yang diberi nama Dame (dari kata “damai”) itu berkembang. Dia mendapat berkah sampingan dari usaha tersebut. Karena komunikasi yang luwes dan penuh humor, dia laris sebagai trainer.
“Saya justru bisa ke mana-mana, diundang sebagai trainer usaha pembuatan sabun,” ucapnya, lantas tertawa. Melalui usaha itu, dia berharap bisa membantu kawan-kawan mantan napi kasus terorisme lainnya.
“Supaya tidak lagi terjebak melakukan aksi-aksi yang menimbulkan korban nyawa,” katanya, berharap.