Jakarta – Potensi radikal ada pada setiap kelompok agama, apalagi dengan adanya kesenjangan-kesenjangan yang terjadi saat ini. Dan paham radikal yang ada di dalam masyarakat dapat muncul dari berbagai faktor seperti sosial politik, emosi keagamaan, kultural, ideologi anti westernisme dan kebijakan pemerintah.
Hal tersebut dikatakan DR.H. Mohsen, MM, Direktur Pembinaan Kantor Urusan Agama dan Keluarga Sakinah Kementerian Agama dalam paparannya dalam acara Rapat Koordinasi (Rakor) yang digelar antara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Kementerian Agama (Kemenag) dalam rangka pendampingan sasaran deradikalisasi di masyarakat yang berlangsung di salah satu hotel di Jakarta pada Jumat (17/11/2017) siang ini
Rakor ini diikuti sebanyak 131orang. Dimana peserta rakor ini diikuti para penghulu dan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) tingkat kecamatan dari 26 Kabupaten/Kota di Indonesia yang mana wilayah kerjanya memiliki warga binaan deradikalisasi yang dijalankan BNPT
“Namun yang terjadi selama ini tindakan radikal bisa menimbulkan kekhawatiran, ketakutan di mata masyarakat yang tentunya dapat mengarahkan kepada stabilitas keamanan suatu wilayah negara,” ujar. DR. Mohsen, MM
Namun demikian menurutnya, radikal itu sebenarnya harus dimiliki oleh semua orang, agar orang tersebut memiliki satu pendirian yang kuat sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain. “Ini adalah sisi positif dari radikal. Namun jika paham radikalisme telah menyebar, maka hal ini harus segera ditanggulangi,” ujanrya.
Menurutnya penanggulagan radikalisasi ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti melakukan counter terrorism, mencegah proses radikalisme dan mencegah provokasi, penyebar kebencian, dan permusuhan antar umat beragama.
“Selain itu cara lain yakni mencegah indoktrinasi dalam masyarakat, mengaktifkan pengatahuan masyarakat untuk menolak paham terorisme dan tentunya yang juga tidak kalah penting adalah dengan memperkaya khazanah keagamaan,” ujarnya.
Untuk itu menurutnya KUA sebagai ujung tombak Kementerian Agama yang ada di seluruh kecamatan memiliki potensi yang besar dalam melakukan pendampingan terhadap masyarakat yang terpapar paham radikal. Ini bisa dilakuakn karena Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki sangan banyak. “Demikian juga dengan para penghulu juga merupakan perpanjangan tangan dari Kementerian Agama,” ujanrya.
Menurut peraih gelar Doktor dari Universitas Islam Negeri Alauddin Makkasar ini mengatakan bahwa kekuatan para penghulu dan KUA dalam melakukan proses pendampingan adalah dengan menggunakan media-media untuk menyampaikan info kepada masyarakat.
“Media-media itu seperti bimbingan pernikahan, khutbah nikah, khutbah Jumat, bimbingan keagamaan pada ormas, majelis taklim, masjid, dan mushalla konsultasi negara serta acara-acara lain yang dilakukan dalam masyarakat,” ujarnya.
Namun demikian pria yang juga pernah menjadi Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama ini mengatakan bahwa dalam melakukan penyampaian informasi tersebut tentunya para penghulu itu harus memiliki modal.
“Bukan modal materi Modal penghulu dalam menyampaikan informasi dia harus memiliki standar kompetensi yang telah ditentukan, dia juga harus memiliki latar belakang syariah atau agama dan tentunya juga punya kemampuan membaca kitab kuning atau sumber referensi utama sehingga mampu menjelaskan kepada masyarakat,” ujarnya.
Pria yang pernah menjadi kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Tengah dan Maluku Utara ini mengungkapkan, jika paham radikal itu sudah menyebar, maka penghulu harus bsia menanggulanginya dengan berbagai cara dan kemampuan yang susah menjadi dasar untuk dimilikinya.
“Penghulu harus segera memberikan pendidikan agama yang bersifat substansia, kemudian harus dapat mensosialisasikan Islam sebagai ajaran agama yang rahmatan lil alamin dan mendukung gerakan masyarakat terhadap bahaya ekstrimisme,” ujarnya.
Untuk itu dirimnya kembali menekankan bahwa menanggulangi terorisme di lingkungan masyarakat merupakan tanggung jawab kita bersama, bukan hanya tugas dari BNPT. “Tentumnya kita harus bersama-sama. Karena masalah terorisme ini juga masalah ideologi yang bermula dari pemahaman agama yang salah. Nah kita dari Kementerian Agama ini juga harus berperan untuk memberikan pencerahan kepada mereka yang terpapar itu,” ujar pria kelahiran Sigenti, 06 Maret 1965 ini mengakhiri.