Tiga Kelompok Teroris Paling Berpengaruh di Afrika: Ancaman Global yang Tak Kunjung Padam

Jakarta — Kawasan Afrika hingga kini masih menjadi episentrum berbagai aksi teror yang mengancam stabilitas regional dan kemanusiaan. Sejumlah kelompok ekstremis yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan ISIS terus memperluas pengaruhnya, terutama di wilayah Sahel, Afrika Timur, dan Nigeria bagian utara.

Berbagai operasi keamanan dan penegakan hukum telah dilakukan oleh pemerintah setempat bersama komunitas internasional. Namun, jaringan teror di benua itu tetap menunjukkan ketahanan dan kemampuan beradaptasi yang tinggi. Tiga kelompok berikut disebut sebagai yang paling berpengaruh dan berbahaya di Afrika.

1. Jama’at Nusrat al-Islam wal-Muslimin (JNIM)

Kelompok JNIM, yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, menjadi aktor utama di balik meningkatnya serangan jihadis di Afrika Barat, terutama di Burkina Faso, Mali, dan Niger.

Baru-baru ini, JNIM mengklaim bertanggung jawab atas serangan terkoordinasi terhadap tujuh lokasi militer di Mali barat, termasuk wilayah dekat perbatasan Senegal dan Mauritania.

Kekerasan yang mereka lakukan telah mengguncang stabilitas politik kawasan, bahkan menjadi salah satu pemicu terjadinya serangkaian kudeta militer di negara-negara Sahel dalam lima tahun terakhir.

Dipimpin oleh Iyad Ag Ghali, mantan diplomat Mali dari etnis Tuareg, JNIM berakar dari pemberontakan Tuareg tahun 2012 yang menuntut negara merdeka bernama Azawad. Wakilnya, Amadou Koufa, berasal dari komunitas Fulani yang banyak direkrut sebagai pejuang lapangan.

Menurut laporan BBC, kelompok ini memiliki struktur kepemimpinan yang terpusat namun fleksibel, dengan ribuan anggota—kebanyakan pemuda miskin dari kawasan tandus Sahel yang nyaris tanpa peluang ekonomi.

2. Al-Shabaab

Kelompok Al-Shabaab (Harakat al-Shabaab al-Mujahideen) merupakan salah satu afiliasi Al-Qaeda yang paling kuat di dunia, berbasis di Somalia dan memiliki jaringan operasi di Kenya, Uganda, Etiopia, dan Djibouti.

Misi utama mereka adalah menggulingkan Pemerintah Federal Somalia (FGS) yang diakui secara internasional dan mendirikan “Somalia Raya” di bawah penerapan ketat hukum syariah.

Al-Shabaab memandang kehadiran pasukan asing sebagai “tentara salib” dan menegaskan komitmennya terhadap jihad global. Mereka dikenal menggunakan berbagai taktik keji seperti bom bunuh diri, serangan kompleks terhadap hotel dan markas militer, serta penculikan.

Meski tekanan militer meningkat melalui misi ATMIS (African Union Transition Mission in Somalia), Al-Shabaab tetap mempertahankan kemampuan serangan dan sistem pendanaan yang kuat, sebagian melalui pemerasan dan pungutan ilegal terhadap penduduk lokal.

3. Boko Haram

Kelompok Boko Haram, atau Jama’at Ahl al-Sunna li al-Da’wa wa al-Jihad (JAS), merupakan ancaman utama di Nigeria timur laut dan negara-negara sekitar Cekungan Danau Chad seperti Kamerun, Chad, dan Niger.

Nama “Boko Haram” secara umum berarti “pendidikan Barat adalah terlarang”. Ideologi mereka menolak modernisasi dan menentang pengaruh Barat, yang dianggap sebagai sumber kerusakan moral dan korupsi di Nigeria.

Didirikan tahun 2002 oleh Mohammed Yusuf, Boko Haram awalnya merupakan gerakan dakwah non-kekerasan. Namun setelah Yusuf tewas dalam operasi militer Nigeria pada 2009, kelompok ini berubah menjadi gerakan bersenjata di bawah pimpinan Abubakar Shekau.

Boko Haram terkenal brutal, sering menggunakan perempuan dan anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri dan melakukan penculikan massal, seperti tragedi penculikan siswi Chibok tahun 2014 yang mengejutkan dunia.

Konflik berkepanjangan ini telah menewaskan puluhan ribu orang dan memaksa jutaan penduduk mengungsi, menciptakan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di Afrika. Meski operasi militer regional berhasil memperlemah sebagian kekuatannya, laporan terbaru menunjukkan tanda-tanda kebangkitan kembali kelompok ini di Nigeria dan Kamerun pada tahun 2025.

Keberadaan tiga kelompok ini menegaskan bahwa Afrika masih menjadi medan krusial dalam perang global melawan terorisme. Kemiskinan ekstrem, lemahnya pemerintahan, serta konflik etnis menjadi faktor utama yang terus menyuburkan rekrutmen ekstremis.

Para analis menilai bahwa selain operasi militer, pendekatan sosial-ekonomi dan pendidikan keagamaan moderat menjadi kunci untuk mengakhiri siklus kekerasan yang tak kunjung padam di benua hitam tersebut.