Tidak ada Celah di Negara ini untuk Melakukan Tindak Inkonstitusional

Jakarta – Salah satu pola propaganda kelompok radikal yang kerap dimainkan adalah menunggangi isu sosial dan politik untuk meradikalisasi masyarakat. Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja memang menjadi kontroversi sebagian kalangan yang harus disikapi secara kritis dan argumentatif.

Namun, kampanye khilafah terselubung kelompok radikal dalam isu ini, dengan cara membangun public distrust dan narasi kebencian terhadap negara menjadi persoalan berbeda.

Hal ini dikatakan oleh Kader Intelektual Muhammadiyah, Muhammad Abdullah Darraz. Dirinya menegaskan, sejatinya negara tidak membuka ruang bagi siapapun yang berusaha melakukan tindakan inkonstitusional. Terlebih menciptakan kericuhan dengan mendompleng isu politik yang mengatasnamakan agama atau ajaran tertentu.

 

“Pada prinsipnya, sistem negara kita kan sebetulnya tidak memberikan ruang sekecil apapun bagi siapapun yang melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional. Khususnya bagi kelompok yang mendompleng isu-isu tertentu, kemudian menciptakan kericuhan dan social disorder. Itu kalau bahasa konstitusi, makar,”ujar Muhammad Abdullah Darraz di Jakarta, Jumat (13/1/2022).

 

Dirinya melanjutkan, kekacauan sosial serta tindakan yang termasuk makar dalam upaya menggulingkan pemerintahan yang sah apalagi didalam negara yang tidak sedang berkonflik, dalam kacamata fiqih islam disebut sebagai Al-Baghiu atau Bughat.

 

Bughat sendiri memulai sejarahnya ketika masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, dengan kemunculan kelompok yang enggan mengakui pemerintahan Abu Bakar dan menciptakan sosial disorder. Maka kelompok tersebut dianggap pemberontak hingga wajib diperangi.

 

“Jadi menciptakan situasi yang tidak tertib, tidak stabil. Nah itu saya kira bisa dikategorikan bagian dari bughat. Namun para ulama kan  berbeda pendapat terkait hukumnya (bughat),” kata mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute ini.

Setidaknya ada tiga kategori bughat berdasarkan pendapat para ulama. Pertama, bughat yang dikategorikan sebagai orang yang melakukan pidana atau jarimah. Hukumannya harus ditentukan melalui pengadilan, ada hakim yang memutuskan. Tidak boleh penguasa, Imam, atau presiden yang memutuskan hukumannya.

“Kedua, pendapat yang agak ekstrem yaitu menyebutkan kelompok bughat atau pembangkangnya disebut sebagai kafir, jadi sudah keluar dari Islam. Oleh karena itu hukumannya boleh langsung dibunuh, diperangi langsung atas perintah Imam, Raja atau Presiden,” katanya.

Lalu, yang ketiga adalah bahwa orang bughat ini dianggap sebagai fasik. Sehingga dilihat dulu dan diberikan kesempatan untuk taubat telebih dahulu. Jika melawan atau menolak baru boleh diperangi. Namun dalam hal ini, Darraz menekankan untuk menganalisis secara hati-hati membedakan antara yang kritis dengan yang melakukan pembangkangan.

“Karena kritis itu memang menjadi suatu kewajiban dalam Islam. Kita diajarkan untuk tawashshaw, saling menasehati bil haq (dalam kebenaran), saling berwasiat dalam kebaikan, dengan kesabaran guna mencegah kemungkaran. Itu wajib dilakukan tapi dengan bahasa yang bisa diterima oleh siapapun,” tuturnya.

Sehingga Darraz mengatakan, dalam konteks polemik UU Cipta Kerja yang ditunggangi kelompok radikal, dengan membawa narasi khilafah terselubung serta bersembunyi dibalik alasan kritik. Darraz menilai, bahwasanya kritik haruslah disampaikan dengan santun, objektif, elegan, dan tidak ada tujuan terselubung lainnya melainkan untuk kebaikan umat, rakyat dan pemerintah itu sendiri.

“Dan kritik juga tidak boleh disampaikan didepan umum, apalagi sampai menjatuhkan wibawanya. Dalam islam itu bukan hanya mengkritik kita itu wajib mendoakan pemerintah, pemimpin atau imam yang menjadi imam kita, supaya pemimpin memiliki kecerdasan, kepandaian sehingga menghasilkan kebijakan yang baik yang maslahat bagi umat,”ujar Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Garut ini.

Oleh karena itu, dengan etika kritik yang santun dan bijak, maka tujuan kritik itu sendiri akan tercapai dan mampu menghasilkan alternatif solusi bagi persoalan rakyat.

“Tidak hanya dari rakyat ke pemimpin, namun cendekiawan juga mengatakan bahwa pemimpin harus ‘memasang telinga ke bumi’, harus terbuka atas saran, kritik, mau mendengarkan aspirasi serta mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat luas,” ungkapnya.

Terakhir, Darraz berpendapat guna menutup ruang gerak kelompok radikal yang kerap menunggangi isu politik dengan narasi promosi ideologinya. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama untuk sama-sama terbuka dan memahami proses hukum yang berlaku. Sehingga diharapkan antara pemerintah dan masyarakat tidak ada celah kesalahpahaman yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok radikal.

“Saran saya memang sebaiknya pemerintah betul-betul sejak awal melibatkan masyarakat, transparan. Apa yang menjadi aspirasi masyarakat bisa tersampaikan sejak awal dan masyarakat memahami proses yang berlangsung. Sehingga itu tidak menciptakan celah bagi kelompok-kelompok pembangkang itu memanfaatkan situasi chaos,” ujarnya mengakhiri.