Jakarta – Kelompok militan ISIS memperlakukan wanita seakan hanya sebagai budak seks dan penyedia bahan makanan. Ironisnya, banyak wanita barat yang notabene lebih suka kebebasan, terjebak bujuk rayu ISIS, dan akhirnya bergabung dengan kelompok teroris tersebut.
Faktannya sangat banyak wanita barat pergi ke Suriah di awal keberadaan ISIS dari 2014 sampai 2016. Mereka bahkan rela meninggalkan berbagai kemapanan untuk hidup di medan perang.
Harus diakui, dibandingkan dengan al-Qaeda dan organisasi teroris lainnya, ISIS memiliki sarana propaganda dan rekrutmen yang lebih baik. Mereka hadir di media sosial dan menawarkan komunikasi dalam lebih banyak bahasa.
Masuknya mereka ke wilayah Raqqa di Suriah dan Mosul di Irak dan proklamasi kekhalifahan pada 2014, membuat ratusan wanita dari seluruh dunia bergabung dengan milisi teroris. Meskipun tak menempati jabatan strategis di ISIS, mereka memainkan peran yang jauh lebih aktif daripada biasanya dengan melakukan tugas-tugas administrasi dan logistik.
Dalam buku “Dschihadistinnen-Faszination Maertyrertod” (Wanita Militan-Pesona Kematian Seorang Martir) penulis Hassan Abu Hanieh dan Mohammad Abu Rumman, dijelaskan peran wanita hanya melahirkan dan mendidik anak atas nama jihad untuk mendukung para militan. Dalam bukunya, Hanieh dan Rumman menekankan bahwa peran mereka dalam komunikasi ISIS tidak boleh diremehkan.
“Karena ini memberi mereka kesempatan untuk mempengaruhi tindakan dan perkembangan kelompok,” begitu isi buku itu seperti dikutip dari Qantara.
Hanieh dan Rumman menekankan, militan perempuan tidaklah lebih feminis atau sekuler daripada rekan-rekan pria mereka. Mereka juga sangat religius dan tunduk pada dogma-dogma kuno dan patriarki.
Sementara, bagian kedua dari buku ini terdiri dari studi kasus terhadap sekitar 50 wanita dari Afrika Utara, Timur Tengah, Arab Saudi, Eropa dan Amerika Serikat. Sulitnya menemukan sumber yang terpercaya, buku itu didasarkan pada kesaksian tertulis dan lisan dari para perempuan itu sendiri. Karena itu penelitian yang dituliskan dibuku tersebut tidak representatif.
Meskipun demikian, penulis berhasil memberikan gambaran tentang berbagai motivasi perempuan untuk berjihad. Demikian, dapat memberikan petunjuk bagimana untuk pencegahan radikalisasi.
Selain itu, Hanieh dan Rumman juga menantang anggapan umum tentang pengantin jihad atau wanita yang dicuci otak secara agama, tidak berpendidikan, putus asa atau naif. Pasalnya, sebagian besar dari mereka yang bergabung ISIS merupakan wanita berpendidikan dan kaya.
Lebih lanjut, buku itu menjelaskan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan mereka meninggalkan kehidupannya dengan bergabung dengan kelompok konflik bersenjata.
Pertama, situasi politik global yang berubah dan penghinaan yang sering dikaitkan dengan masyarakat Muslim. Kedua, perlakuan terhadap saudara, ayah, dan suami di penjara. Ketiga, hilangnya anggota keluarga.
Di daerah konflik perempuan tidak hanya menderita akibat perang semata. Namun, muncul perasaan balas dendam dan ketidakadilan.
Hanieh dan Rumman menyimpulkan wanita terdorong untuk bergabung dengan ISIS dengan alasan politik dan pribadi. Mereka menjelaskan bagaimana organisasi militan menawarkan “proyek politik alternatif” yang diduga untuk Barat kontemporer dan rezim Arab.
Menurut laporan media, ISIS telah banyak kehilangan kekuatan dan pengaruhnya di seluruh dunia,. Namun, kekuatan mereka tetap harus diperhitungkan. Sebab, ideologi telah tertanam di benak wanita dan pria di seluruh dunia.
“Kita hanya dapat mengatasi ISIS secara efektif dengan menyelesaikan masalah yang mengarah pada pola pikir yang teradikalisasi,” kata Hanieh dan Rumman.