Sukoharjo – Aksi terorisme tidak lagi hanya menggenggam semangat maskulinitas dan patriarki, melainkan telah berkamuflase ke dalam pendekatan feminim.
Hal itu dikatakan Ketua Pimpinan Cabang (PC) Fatayat NU Sukoharjo Siti Muslimah pada FGD bertajuk Pemetaan Pola Gerakan Paham Ekstrimisme dan Radikalisme bagi Kelompok Perempuan Rentan di Kabupaten Sukoharjo sebelumnya telah digelar di Aula Kantor Kecamatan Kartasura pada Sabtu (27/5/2023).
Kegiatan dalam rangka memperingati hari lahir ke-73 Fatayat NU tersebut diikuti 40 orang peserta diskusi yang mewakili beberapa elemen serta kelompok perempuan di Kabupaten Sukoharjo. Di antaranya berasal dari PKK, anggota karangtaruna perempuan, aktivis perempuan remaja masjid, perempuan muda NU, perempuan Muhammadiyah, perempuan Syi’ah, perempuan Salafi, dan istri-istri mantan narapidana terorisme.
“Kegiatan FGD kami laksanakan sebagai langkah awal dan sebuah upaya untuk memberikan gambaran kepada kelompok perempuan rentan di Kabupaten Sukoharjo akan ancaman terhadap doktrin-doktrin ekstrim radikal yang penyebaraannya sangat masif dan sporadis,” kata Siti Muslimah dikutip dari Solopos.
Ia mengungkapkan, pada perekrutannya, perempuan diinvestasikan melalui pernikahan. Perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh suaminya, dijajah pikirannya dengan pemahaman Islam radikal.
“Pertama-tama kelompok radikal menyentuh ranah psikologis perempuan, dengan menawarkan alternatif solusi untuk kehidupan mereka yang diterpa amarah, kekecewaan, dan sakit hati akibat dari tindakan diskriminatif, kekerasan fisik, dan lainnya,” sambung Muslimah.
Menurutnya, hal itu menjadi salah satu penyebab di Indonesia, perempuan juga menjadi korban sekaligus aktor yang berperan aktif dalam melakukan aksi terorisme dengan dalih menjadi jihadis.
Ia menyebut Dian Yulia Novi merupakan contoh dari keikutsertaan perempuan dalam merencanakan bom bunuh diri di Istana Negara pada 2016 silam. Sementara kasus-kasus yang belakangan ini melibatkan perempuan dalam aksi terorisme menunjukan adanya pergeseran peran pelaku teror.
Menurutnya perempuan kini dianggap telah unjuk gigi dan tidak lagi menjadi bayang-bayang di belakang layar sebagau figuran pembantu kaum lelaki. Melainkan bertransformasi menjadi pemeran utama aksi terorisme.
Sementara itu, Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta, Suprapti yang menjadi moderator dalam sesi diskusi tersebut menyampaikan secara fakta dan data. Ia menyebut Kabupaten Sukoharjo merupakan wilayah yang memiliki temuan tinggi secara jumlah terkait pelaku tindak terorisme.
Selain itu dalam hal penanganan ekstrimisme dan radikalisme, Kabupaten Sukoharjo menurutnya menjadi wilayah sumber utama maraknya faham-faham ini. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya kasus penangkapan teroris ataupun terduga teroris di wilayah Kabupaten Sukoharjo.
“Secara gender, tidak hanya pelaku laki-laki saja yang terlibat dalam kasus radikalisme dan ekstrimisme di Kabupaten Sukoharjo. Paham serta doktrin tersebut juga menyasar kepada kelompok perempuan, dibuktikan dan selaras dengan kasus serta temuan pelaku tindak terorisme dan radikalisme yang berasal dari kelompok perempuan baik di Sukoharjo ataupun Soloraya,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Aman Indonesia Korwil Jawa Tengah, Maskur Hasan memaparkan keterlibatan perempuan dalam aksi teror tidak terlepas dari apa yang mereka lihat pada pempuan-perempuan di Palestina, Irak, Afghanistan, dan Chechnya, Rusia.
Keterlibatan tersebut menurutnya merupakan bentuk kesetaraan gender yang semu, dengan dalih akan mendapatkan pahala yang setara dengan militant laki-laki.
“Padahal keterlibatan mereka dalam aksi terorisme, dimanfaatkan dan dieksploitasi kemampuannya oleh jihadis laki-laki. Walaupun perempuan dalam aksi terorisme merupakan pelaku, namun secara hakiki mereka tetaplah korban dari ketidaktahuan dan ketidakberdayaan yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki niatan untuk melakukan tindakan keji dan sistematis dengan tujuan terorisme,” ujar Maskur