Rentetan aksi terorisme yang terjadi belum lama ini telah meninggalkan duka yang mendalam bagi seluruh komponen negeri. Terlebih, aksi terorisme itu terjadi di saat bangsa ini tengah serius melakukan berbagai pembangunan dan pengembangan untuk kemajuan bersama. Selain mencederai, aksi terorisme adalah bentuk permusuhan terhadap kemanusiaan dan segala nilai yang terkandung di dalamnya, termasuk nilai agama.
Karenanya, klaim bahwa tindakan terorisme dilakukan atas dasar ajaran agama tidak dapat dibenarkan. Meski demikian, tulisan ini tidak akan membahas soal terorisme dan agama, melainkan soal keterlibatan keluarga dalam aksi teror. Harus diakui, aksi terorisme yang melibatkan seluruh anggota keluarga, termasuk istri dan anak-anaknya, baru kali ini terjadi.
Tidak tanggung-tanggung, tiga keluarga yang melakukan aksi sadis di Surabaya, masing-masing; keluaga Dita [Dita Oepriarto (45), istrinya, Puji (42), dua putra Yusuf (18) dan Firman (16), serta dua putri, Fadhila (12) dan Pamela Rizkita (9)], keluarga Anton yang terdiri dari Anton Febrianto (47), Puspita Sari (47, istri ), Hilta Aulia Rahman (17, anak pertama), (Ainur Rahman, 15) –keduanya meninggal— dan dua anak lainnya yang selamat, yakni Faisa Putri (11) dan Garida Huda Akbar (10). Keluarga yang ketiga melakukan serangan ke Mapolrestabes Surabaya menggunakan dua buah sepeda motor, satu anak selamat.
Peran ISIS
Modus baru terorisme yang melibatkan seluruh anggota keluarga ini tentu mengagetkan, terutama karena selama ini aksi terorisme dilakukan secara terpisah atau dimonopoli oleh laki-laki saja. Meski begitu, bukan berarti bahwa modus terorisme yang melibatkan seluruh anggota keluarga ini tak memiliki sebab. Doktrin untuk mengajak seluruh anggota keluarga ‘berjihad’ telah lama dipopulerkan oleh ISIS. Kelompok teroris internasional ini memerintahkan simpatisan dan para pengikutnya untuk mengajak anak dan istrinya ‘hijrah’ ke Negara Islam di Irak dan Suriah.
Apa yang dilakukan ISIS ini tentu bukan hal baru dalam jagad terorisme, beberapa kelompok teroris juga telah melakukan hal yang sama. Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) misalnya, mereka menggunakan jalur kekerabatan untuk terus bertahan dan menyebarkan ajaran. Anggota JI biasanya akan menikah dengan saudara dari anggota JI yang lain, atau mereka akan memilih perempuan dari kelompok mereka yang telah menerima doktrin-doktrin JI. Dengan cara ini, ajaran dan nilai-nilai organisasi akan tetap hidup dan berkembang.
Hanya saja, ISIS melakukan strategi ini dengan memberikan beberapa penambahan krusial. Berbeda dengan model kekerabatan dan pernikahan di kelompok teroris lain, di mana ‘hak untuk menjadi pejuang’ hanya diperuntukkan bagi kepala keluarga (laki-laki), ISIS memberi peran penting kepada setiap anggota keluarga. Meminjam istilah Sidney Jones, ISIS memandang perempuan (istri) yang ikut suaminya berjihad sebagai “Singa Betina” dan anak-anak mereka adalah “anak-anak singa”.
Pengakuan yang diberikan oleh ISIS di atas sepertinya cukup menarik bagi sebagian kalangan. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya antusiasme sebagian kalangan untuk membawa serta seluruh anggota keluargnya ‘hijrah’ ke Irak dan Suriah. Di sana, mereka tak hanya akan hidup di bawah hukum Islam, tetapi juga akan mati dengan cara Islam, memerangi kafir; begitu kira-kira khayal mereka. Bagi ISIS, setiap orang, tak peduli pria atau wanita, anak-anak atau dewasa, bisa menjadi jihadis. Syaratnya hanya satu, mengakui kekhalifahan ISIS.
Bagi mereka yang tak bisa berangkat ke Irak atau Suriah, mereka diyakinkan bahwa jihad bisa dilakukan di mana saja, termasuk di Indonesia. Terlebih, dengan kondisi terbaru di mana ISIS mulai terdesak oleh tentara pemerintah Irak dan Suriah beserta sejumlah pasukan gabungan, berangkat ke Irak dan Suriah tak lagi menjadi opsi utama.
Keinginan Untuk Dianggap Setara
Keterlibatan keluarga dalam aksi terorisme juga didorong oleh munculnya keinginan dari perempuan untuk memiliki kesempatan yang sama dalam berjihad. Pemerhati isu gender dan radikalisme, Lies Marcoes menyebut bahwa perempuan memiliki keinginan kuat untuk bisa mencium bau surga bukan saja melalui suaminya, melainkan karena usahanya sendiri. Perempuan dari kelompok radikal teroris juga tampak mulai enggan dipandang sebagai masyarakat kelas dua hanya karena mereka perempuan. Mereka, seperti dijelaskan oleh Lies Marcoes dalam “Why Do Indonesian Women Join Radical Groups?”, memandang bahwa kelompok radikal menjunjung kesetaraan perempuan dan mengakui kontribusi mereka dalam penegakan khilafah di dunia.
Kelompok teroris juga terbukti telah mulai memberi ‘peran’ lebih kepada perempuan untuk menjadi jihadis, yakni dengan mempersilakan perempuan menjadi pelaku bom bunuh diri. Beberapa serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan terjadi di Palestina, Irak dan Chechnya. Kelompok teroris lantas mengangung-agungkan aksi-aksi ini dan menggelari para perempuan pelaku serangan bom bunuh diri tersebut dengan julukan Syahidah; perempuan yang mati dalam keadaan syahid/membela agama Allah.
Aksi para perempuan di atas disebut sebagaian kalangan telah menginspirasi beberapa perempuan lain untuk turut melakukan aksi yang sama. Bagi mereka, mati dengan cara demikian dapat mempercepat dirinya masuk ke surga.
Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme juga menjadi angin segar bagi kelompok teroris, sebabnya adalah, perempuan memiliki ikatan emosional dan akses yang lebih besar terhadap anak. Sehingga, ketika sang ibu sudah terpengaruh oleh paham radikal dan teror, maka tak perlu waktu lama baginya untuk menyebarkan paham serupa kepada anak-anaknya.
Deradikalisasi Sekeluarga
Pola penyebaran paham radikal-terorisme banyak bertumpu pada ikatan keluarga, di mana sang suami yang biasanya akan mulai mempengaruhi istri dan kemudian merembet ke anak-anak. Namun dengan berkembangnya teknologi informasi di internet, ajaran-ajaran kekerasan bisa masuk dari mana saja dan menyasar siapa saja, tak hanya suami. Karenanya, lingkaran pertama dan utama yang harus segera dikuatkan untuk menghadang laju terorisme adalah keluarga.
Melalui ‘jalur’ keluarga pula, penanggulangan terorisme malalui deradikalisasi perlu dilakukan. Kita tentu tak ingin lagi melihat ada anak-anak yang harus ikut memikul bom demi menuruti delusi orang tuanya. Disamping juga bapak dan ibu yang perlu diselamatkan agar tak sampai hati mengorbankan diri sendiri, anak-anaknya dan orang lain demi sebuah keyakinan yang membahayakan.
Deradikalisasi terhadap seluruh anggota keluarga tentu tak akan bisa dilakukan dengan mudah. Akan ada batas-batas tertentu di mana intervensi tak bisa dilakukan, namun bukan berarti pemerintah bisa dan boleh tinggal diam, sebab dengan cara ini, terorisme bisa diredam.